Di Lombok, Dua Jenis Perang Jadi Simbol Perdamaian dan Harmoni

Mendengar kata Perang tentu yang terbersit dalam pikiran kita ialah konflik, kekerasan, krisis perdamaian dan berbagai kata yang berkonotasi negatif. Akan tetapi di Lombok Nusa Tenggara Barat ada beberapa tradisi “Perang” yang justru menjadi simbol perdamaian, kearifan lokal, moderasi, dan resolusi konflik.
Topat atau Ketupat panganan lokal Indonesia yang biasanya khas menjadi suguhan pendamping opor saat Lebaran. Berbahan baku beras putih, dibungkus dengan wadah anyaman daun kelapa. Mematangkan Topat yaitu dengan cara direbus hingga matang sempurna.

Sementara Timbung merupakan panganan (jajanan) lokal berbahan baku beras ketan dan santan kelapa yang dibungkus menggunakan daun pisang dan disimpan dalam wadah bambu dan dimatangkan dengan cara dibakar.

Unik dan menariknya, kedua hasil olahan Pangan tersebut menjadi nama sekaligus simbol ekspresi budaya, tradisi masyarakat yang tersebar di Pulau Lombok yaitu Perang Topat dan Perang Timbung.

Perang Topat (Ketupat)

Perang Topat merupakan salah satu acara adat, tradisi masyarakat yang diselengarakan di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar kabupaten Lombok Barat. Tradisi ini dilaksanakan sekali setahun menurut pada dua penanggalan lokal yaitu penanggalan Suku Sasak (mayoritas Muslim) dan Penanggalan umat Hindu, dan biasanya jatuh di bulan Desember penanggalan Masehi.

Dalam penanggalan Masyarakat Suku Sasak, Perang topat dilaksanakan pada hari ke-15 bulan ke-7 atau disebut Purnama Sasih Kepitu. Bagi Muslim suku Sasak, merupakan waktu yang tepat untuk melaksanakan napak tilas di bangunan Kemaliq yang berada di kawasan Pura Lingsar. Sementara berdasarkan penanggalan umat Hindu, bertepatan dengan hari ke-15 bulan ke-6 yang disebut dengan Purnama Sasih Kenem. Pada malam purnama merupakan waktu yang tepat bagi umat hindu untuk melaksanakan ritual Pujawali.

Dari sumber informasi tokoh masyarakat setempat, menyebut tradisi Perang Topat merupakan peristiwa sejarah yang tidak lepas dari proses pembangunan Pura Lingsar pada tahun 1759 Masehi. Berdasarkan cerita turun-temurun, cikal bakal Perang Topat bermula dari konflik kepentingan berupa penolakan Umat Islam terhadap pembangunan Pura di Lingsar. Kala itu, sempat terjadi ketegangan di antara kedua pihak yang berujung pada keputusan untuk berperang. Peran tokoh adat dan masyarakat pada saat itu berupaya memediasi konflik dengan kesepakatan damai. Penyadaran tentang pentingnya menjalin kerukunan antara umat yang berbeda, saling menghormati dengan memberikan ruang ekspresi damai disepakati dengan mengganti perang fisik menjadi Perang Topat. Sejak saat itulah, tradisi perang topat dilaksanakan setiap tahun.

Usai perang topat, warga akan memungut sisa-sisa ketupat untuk dibawa pulang. Ketupat sisa perang topat akan dibuang ke sawah. Warga Lingsar percaya, ketupat sisa perang akan menyuburkan tanah mereka. Di samping sebagai simbol kerukunan, masyarakat juga meyakini, tradisi itu berdampak terhadap kesuburan dan kemakmuran. Karena pada bulan Desember juga merupakan musim panen pertama dalam siklus tanam dalam masyarakat Agraris khususnya di kabupaten Lombok Barat.

Perang Timbung

Perang Timbung tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat di Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah. Kegiatan ini dilaksanakan satu tahun sekali pada tiap bulan 4 penanggalan Sasak yang biasanya ditandai dengan berbunganya pohon Dangah yang ada di Komplek Makam Seriwa, tempat dilaksanakan kegiatan Perang Timbung. Biasanya penanggalan ini terjadi pada bulan Agustus tahun Masehi dan saat puncak musim kemarau terjadi di Pulau Lombok, khususnya di Lombok Tengah.

Panganan Timbung biasanya disiapkan sehari sebelum acara dilaksanakan. Di tiap rumah warga di Desa Seriwe biasanya akan mulai sibuk mempersiapkan bahan membuat Timbung. Memilih bahan baku beras ketan, mempersiapkan kelapa untuk diambil santannya, memilih daun pisang dan membersihkan dan memotong bambu sebagai wadah membakar Timbung.

Aktifitas mempersiapkan bahan-bahan biasanya dilakukan oleh ibu-ibu dan remaja putri, sementara untuk kelompok laki-laki akan mencari dan memilih jenis bambu mana yang bagus untuk dijadikan wadah, biasanya dipilih bambu yang ruasnya cukup panjang sekitar 40-50 cm. Selanjutnya tungku dari kayu non permanen akan dipasang di halaman rumah sebagai tempat pembakaran Timbung. Setelah Timbung siap barulah diletakkan berjejer di atas bara api, dan biasanya memakan waktu 8-12 jam hingga benar-benar matang sempurna.

Selain aktifitas mempersiapkan Timbung, para lelaki yang terdiri dari bapak-bapak dan remaja akan melakukan gotong royong membersihkan area komplek Makam Seriwa. Memasang atap sederhana di beberapa bagian yang lapang sebagai tempat untuk berkumpul, zikir, berdoa dan musyawarah pada pra-acara Perang Timbung.

Rangkaian acara Perang Timbung dimulai sekitar selepas solat Zuhur atau Ashar. Diawali dengan acara doa bersama, dan iring-iringan remaja putri membawa dulang saji yang berisi makanan lain beserta Timbung ke komplek Makam. Setelah acara zikir dan selamatan serta sajian bersama.

Remaja putri dan yang masih berada di dalam komplek makam belum akan diizinkan keluar sebelum ditandai dengan pelemparan Timbung pertama oleh tokoh adat. Kelompok remaja lelaki akan menunggu di luar gerbang makam tepatnya di sebrang jalan dengan senjata “Timbung” yang sudah dibentuk kecil seukuran kerikil.

Hingga aba-aba pelemparan pertama dimulai, barulah “Perang Timbung” berlangsung. Kelompok Remaja yang dominan terlibat dalam momen ini, sebab konon dalam perang timbung juga dijadikan ajang untuk “Membidik Jodoh” dengan saling melemparkan timbung dari jarak jauh sebagai kode. Bagi remaja yang sudah cukup umur dan siap untuk menikah, biasanya setelah Perang Timbung mereka akan melanjutkan rencana ke jenjang yang serius misalnya janji untuk menikah setelah musim panen selesai.

Nilai kearifan lokal dalam tradisi Perang Timbung sendiri ialah menjaga keselarasan, harmoni antar sesama manusia, manusia dengan alam, sebagai bentuk kesyukuran dan doa agar hal-hal baik dapat senantiasa terjaga.

Penulis : Maia Rahma

Ilustrasi : Zulhan

Comments (0)
Add Comment