Duka Teror dan Polemik Prancis

Masih segar diingatan kita beberapa isu yang menerpa Prancis akhir-akhir ini. Salah satunya teror yang terjadi pada Oktober lalu. Serangan terror tersebut menyebabkan tiga orang tewas secara tragis, “nyaris terpenggal” dan “terbelah”. Ketiga korban tersebut diserang di dalam basilica dan satu korban lagi mencoba melarikan diri setelah ditikam berkali-kali. Membayangkannya saja sudah membuat ngeri, apalagi kita dihadapkan langsung pada kejadian serupa.

Kejadian tersebut tak lama berselang setelah tragedy pembunuhan Samuel Paty, seorang guru sekolah yang dibunuh setelah memperlihatkan kartun Nabi Muhammad milik majalah satir “Charlie Hebdo” pada murid-muridnya. Pembunuh Samuel Paty, Abdullakh Anzorov membunuh dengan memenggal kepal dan mengunggahnya ke laman Twitter sebelum akhirnya tewas ditembak oleh kepolisian setempat.

Ilustrasi oleh Ade Sukma

Kasus tersebut dan tragedi serupa lainnya menunjukkan bahwa ekstrimisme merupakan masalah yang nyata dan berada di sekitar kita. Penanggulangan terhadap isu ini menjadi sangat krusial dan mutlak dilakukan. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang kini menuai kecaman dari muslim di seluruh dunia telah menyiapkan strategi dalam melawan radikalisme dan ekstrimisme dengan melakukan pengajuan RUU pada Desember mendatang. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat UU tahun 1905 yang secara resmi memisahkan gereja dari Negara di Prancis. Dalam RUU ini akan diatur mengenai langkah-langkah untuk mengakhiri masuknya imam-imam asing dan meningkatkan jumlah imam Negara yang dilatih di Prancis. Lalu mendorong pemberlakuan pengawasan ketat dan control pendanaan asing untuk tempat ibadah serta memblokir proyek yang mencurigakan.

RUU ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Prancis, terlebih pasca pidato Macron yang dianggap mendiskreditkan islam karena menyebut “Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia”. Pernyataan Macron ini sebenarnya jika dilihat dengan kepala dingin tidak perlu mendapat reaksi berlebihan, apalagi ia juga mengatakan “karena posisi ekstrimis yang menguat” kemudian ditegaskan kembali di pidato yang sama “tidak ada gunanya menstigmatisasi semua muslim yang beriman”. Masihkah kalimat tersebut terdengar seperti anti islam?. Bagaimanapun juga, kalimat tersebut telah menjadi polemik, yang ditambah dengan adanya penayangan kartun Nabi Muhammad yang dipertahankan Macron dengan alasan kebebasan berekspresi.

Kebebasan berekspresi dan sekularisme memang menjadi hal yang dijunjung tinggi dalam kehidupan bersmasyarakat di Prancis. Hal ini tentu memiliki perbedaan dengan kultur kita yang tergolong masih agak kaku. Sekularisme di Prancis terbilang lebih kuat dibanding beberapa Negara lainnya di Eropa, karena mampu memberlakukan larangan penggunaan symbol agama di sekolah-sekolah. Hal yang cukup lama berlaku ini ditujukan untuk menangkal fundamentalisme yang dinggap semakin menguat.

Langkah yang diambil Macron sangat beralasan mengingat sejak tahun 2015, aksi terror yang terjadi di Prancis menembus angka 10, yang jelas merupakan ancaman terhadap keamanan nasional dan keselamatan warga Negara. Mencegah masuknya imam-imam asing juga seharusnya tidak dianggap sebagai tindakan diskriminasi terhadap umat muslim, sebab adanya potensi bahaya yang harus dicegah. Begitupun dengan adanya pengawasan terhadap dana-dana untuk masjid. Melihat kebijakan Macron dari perspektif yang positif bisa dengan cara menganggapnya  sebagai upaya pengamanan yang diberikan oleh seorang kepala Negara terhadap warganya.

Terkait perihal penayangan kartun Nabi Muhammad yang dibuat oleh majalah Charlie Hebdo, merupakan persoalan yang berbeda jauh dengan RUU Sekularisme. Figur Nabi Muhammad dalam islam sangat dimuliakan. Penggambaran figur beliau dengan gamblang dapat melukai hati umat muslim, apalagi ditambah dengan penghinaan tentu saja akan mengundang berbagai macam reaksi umat muslim di seantero dunia. Penayangan kartun Nabi Muhammad tidak akan pernah bisa diterima oleh umat muslim dengan dalih apapun termasuk kebebasan berekspresi. Tetapi bagaimanapun juga, umat muslim haruslah mampu menyikapi hal ini dengan bijak, dan mengetahui fakta bahwa majalah Charlie Hebdo tidak hanya menghina nabi atau islam, tetapi semua agama dan sudah lama menjadi kontroversi.

Jika dipetakan dari kasus-kasus di atas, yang terpisah adalah polemik yang disebabkan oleh pidato Macron dan penayangan kartun Nabi Muhammad. Kita tentu harus menelaah dengan seksama apa yang dipermasalahkan, bukan hanya ikut-ikutan mengecam dan lainnya. Pidato tersebut tidak serta merta dianggap sebagai pendiskreditan terhadap umat muslim jika disaksikan secara keseluruhan, bukan hanya penggalan kalimat tersebut. Kemudian mengenai penayangan kartun Nabi Muhammad sangat wajar menimbulkan kemarahan, tetapi yang disayangkan adalah sikap Macron yang cenderung membela kartun tersebut atas alasan kebebasan berekspresi. “Kami tidak akan menyerah” menjadi tameng Macron untuk memperkuat posisinya dalam membela kebebasan berekspresi. Dari kontroversi tersebut, umat islam mengharapkan sikap Macron yang menentang penayangan kartun tersebut, bahkan memboikot majalah tersebut.

Sebaiknya kita tidak bersikap berlebihan terkait sikap Macron yang tentunya harus didasarkan oleh aspirasi dari public Prancis, sehingga cukup dengan boikot dari Negara-negara mayoritas muslim dunia menjadi alat diplomasi untuk menyalurkan aspirasi mayoritas umat muslim dunia. Tidak perlu melakukan demonstrasi berlebihan, apalagi adanya aksi-aksi ekstrim yang mengutuk Macron secara berlebihan, karena hal tersebut hanya akan memperkeruh suasana. Kita semua harus melihat seluruh rangkaian kejadian sebelum berkomentar dan beraksi, agar memiliki sudut pandang yang lebih jernih dan tidak gagap informasi. Walaupun demikian, polemic yang disebabkan oleh Macron dan majalah Charlie Hebdo tidak boleh mengurangi empati dan duka kita terhadap korban terror di Prancis, maupun di seluruh dunia karena merupakan duka atas nama kemanusiaan. Bela sungkawa dan ucapan solidaritas terhadap korban terror Prancis harus kita suarakan lebih lantang dari kemarahan kita akibat polemic tersebut. Kemanusiaan sedang berada dalam ancaman, tugas kita semua untuk menjaga dan merawatnya.

Comments (0)
Add Comment