Kasus Georg Floyd dan Resiko Resonansi

Baru-baru ini dunia dihebohkan dengan kasus terbunuhnya warga kulit hitam Georg Floyd oleh anggota polisi di Amerika Serikat. Kasus semacam ini bukan pertama kalinya terjadi di Amerika Serikat (AS), namun kasus kali ini menjadi trigger yang kuat untuk menggerakan masa AS yang kian jengah dengan kasus-kasus serupa yang sudah terjadi tanpa peradilan yang adil. Kasus pembunuhan terhadap warga kulit hitam di AS oleh polisi lebih tinggi daripada kasus serupa menimpa warga kulit putih, anga menujukkan 24 % menimpa warga kulit hitam dan 12% terjadi pasa warga kulit putih. Gelombang protes kali ini dianggap sebagai gelombang protes terbesar dalam sejarah AS, dengan aksi yang sudah menjalar ke seluruh negara bagian dengan jumlah masa yang sangat masif dan menimbulkan beberapa kerusuhan.

Ilustrasi oleh Cholenesia

Belum lama juga, kurang lebih setahun silam, kasus rasisme juga terjadi di Indonesia, tepatnya di Malang dan Surabaya, kedua kasus ini terjadi di bulan Agustus. Pada 15 Agustus di Malang, bentrok terjadi antara mahasiswa Papua dan kelompok ormas. Akibatnya, 23 mahasiswa Papua terluka. Bentrok terjadi pada saat Mahasiswa melakukan aksi dalam memperingati Perjanjian New York. Di lain tempat, tepatnya di Surabaya, personel Brimob menangkap paksa 43 mahasiswa Papua setelah sebelumnya menembakkan gas air mata sebanyak 23 kali ke asrama mahasiswa dikarenakan bendera Merah Putih yang dipasang pemerintah Kota Surabaya jatuh ke selokan, dan diduga mahasiswa Papualah yang sengaja menjatuhkannya.  Kasus tersebut dianggap sebagai kasus penghinaan lambing negara. Namun, karena tidak adanya bukti kuat terhadap kasus penghinaan lambang negara tersebut 43 mahasiswa tersebut dibebaskan.

Kasus serupa di Indonesia sebenarnya masih banyak, baik di tahun-tahun sebelumnya maupun di tahun yang sama dengan kasus di atas. Kendati deemikian, dua kasus tersebut menjadi kasus yang memicu aksi masa yang besar di beberapa daerah di Papua, sekilas sedikit mirip dengan yang terjadi di AS saat ini. Jika kasus di AS menghadirkan protes besar-besaran yang dilakukan seluruh daerah dan ras, kasus di Indonesia ini baru menghadirkan protes di Papua dan hanya dilakukan oleh masyarakat Papua. Publik bisa saja membandingkan dua fenomena tersebut dan mengambil kesimpulan bahwa kesolidan dan ikatan emosional antar ras di AS lebih kuat dari Indonesia, dan masyarakat Indonesia secara umum kebanyakan belum memiliki ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat Papua. Bagaimanapun fenomena demikian beresiko menyebabkan konflik, bahkan disintegrasi yang akan menimbulkan banyak permasalahan di Indonesia secara keseluruhan, di tambah lagi dengan “kasus Georg Floyd” yang sejauh ini telah memicu aksi serupa (resonansi) di beberapa belahan dunia. Demonstrasi bahkan dengan skala besar telah terjadi di Paris dan Nice di Prancis, Turin di Italia, Frankfurt, Cologne, dan Berlin di Jerman, London dan Manchester di Inggris, Sydney dan Brisbane di Australia, dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Indonesia jika kembali terjadi kasus serupa terhadap masyarakat Papua dalam waktu dekat ini.

Papua dalam bingkai media

Kasus diskriminasi terhadap warga Papua telah banyak terjadi, selain ungkapan-ungkapan bernada rasisme, masyarakat Papua kerap kali menjadi sasaran tuduhan separatisme, pemberontakan, dan tuduhan-tuduhan sejenis lainnya. Bahkan beberapa media kerap kali bersikap bias dalam publikasinya yang berkaitan dengan isu Papua. Dikutip dari IndoProgress, pada tahun 2015 salah satu stasiun berita ternama di Indonesia mengunggah berita dengan judul “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang disandera” pada tanggal 27 Mei 2015. Berita ini kemudian dikutip oleh beberapa media daring, salah satunya bahkan dengan judul yang sangat provokatif dan menyesatkan “Kelompok bersenjata sebut 2 TNI yang ditangkap sudah dimasak”, sementara sehari setelahnya stasiun berita ternama tersebut mengunggah berita yang menyanggah berita pertama dengan judul “Panglima TNI bantah dua prajurit disandera”, yang seharusnya sudah membuktikan bahwa berita sebelumnya tidak akurat. Namun sayang sekali stasiun berita yang bersangkutan tidak mencabut berita sebelumnya, sementara berita daring yang diberi judul provokatif sudah begitu saja tersebar.

Kasus serupa juga kembali terjadi pada tahun 2019. Dikutip dari Remotivi, salah satu situs berita mengunggah berita yang masih minim verifikasi dengan judul “Penghuni Asrama Papua di Surabaya Akui Patahkan Tiang Bendera”. Berita tersebut diunggah pada tanggal 16 Agustus 2019, yang beberapa hari setelahnya diralat oleh media tersebut sendiri dengan judul “Penghuni Asrama Ralat Keterangan Insiden Tiang Bendera Patah”. Kendati sudah diralat, berita tersebut terlanjur sudah tersebar dan dibaca banyak orang, terlebih ralat informasi tersebut terjadi beberapa hari setelah berita sebelumnya terbit. Delay tersebut sudah bermakna signifikan dalam era infomasi dengan informasi yang dapat menyebar dan dikonsumsi masyarakat luas dengan sedemikian cepat.

Bias media selain dari segi judul berita yang diterbitkan, juga terdapat dalam konten berita yang cenderung hanya membingkai salah satu pihak. Salah satunya dalam berita dengan judul “Tolak Kibarkan Merah Putih, Asrama Mahasiswa Digeruduk Warga”. Permasalahan berita tersebut selain judul (yang sudah bermasalah), adalah berita tersebut sama sekali tidak mengutip keterangan dari Mahasiswa Papua sebagai pihak yang diberitakan, ditambah lagi dengan judul berita yang sudah menyudutkan mereka yang “terbukti tidak terbukti”. Berita lain dengan kesalahan yang serupa juga, tersebar dengan judul, “Keras Kepalanya Mahasiswa Papua yang Direspons dengan Gas Air Mata”. Isi berita tersebut “hanya” mengutip keterangan dari Wakil Ketua Polrestabes Surabaya, tanpa verifikasi atau konfirmasi dari pihak kedua ditambah lagi judul yang digunakan sangat menyudutkan dan memosisikan Mahasiswa sebagai pihak yang salah tanpa mengutip keterangan mereka dan mengabaikan latar peristiwa. Berita tersebut kemudian diralat judulnya setelah menuai kritik dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Masyarakat kerap kali bersikap bias dalam menyikapi isu Papua, dan jika media kurang gigih dalam melakukan upaya verifikasi dan kultur “malas verifikasi” masyarakat dalam mengonsumsi berita masih terjadi, resiko konflik tentu akan semakin besar. Masing-masing unsur dalam naungan negara memiliki tanggung jawab dalam menjaga kondusifitas sosial dan integrasi bangsa dengan perannya masing-masing. Perusahaan Media dan Jurnalis memiliki tanggung jawab etika, moral, dan konstitusional dalam menjaga integritas dan independensinya sebagai sumber informasi publik. Publik juga memiliki tanggung jawab dalam memverifikasi berita yang diterima dan memperhatikan isi dari berita yang tersebar, sehingga dapat berpikir lebih jernih dalam menganggapi berita (tidak hanya soal isu Papua). Peristiwa-peristiwa di atas dapat menjadi pelajaran bagi publik untuk lebih hati-hati dalam menyebarkan informasi dan mengonsumsi informasi sehingga tidak menjadi pihak yang berkontribusi terhadap timbulnya gesekan dalam masyarakat.

Diskriminasi yang dialami masyarakat Papua dan isu pelanggaran HAM tak ubahnya seperti bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu, sehingga kedewasaan kita dalam sikap, mutlak diperlukan untuk mencegahnya. “kasus Georg Floyd” mungkin belum beresonansi di Indonesia, dan belum menjadi trigger yang menyebabkan kemarahan masyarakat, khususnya masyarakat Papua. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kasus ini, ataupun kasus lainnya dapat menjadi pemicu konflik sosial yang besar yang mengakibatkan disintegrasi bangsa. Setiap pihak bertanggung jawab dalam menebarkan persaudaraan dan kedamaian terhadap warga Papua di sekitarnya sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Jika sikap tersebut telah mendarah daging di masyarakat maka masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia dan Papua kedepannya dapat kita capai.

Say no to racism..

#allmanlivesmatter
Comments (0)
Add Comment