Kasus Teror Sigi, Mereka Mencontoh Siapa? Part 1

Umat manusia kembali berduka. Belum lama kasus teror Perancis berlalu, kini giliran warga Indonesia yang menjadi korban dari aksi teror kelompok yang berasal dari tanahnya sendiri. Jumat 27 November tepatnya, terjadi kasus pembantaian oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) terhadap satu keluarga di Sigi Sulawesi Tengah. Aksi yang dilakukan teroris pimpinan Ali Kalora ini menewaskan empat orang. Pembantaian terjadi di Desa Lemba Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Para korban dibantai dengan cara yang sangat tidak manusiawi, para korban dipenggal dan satu korban bahkan dibakar. Kelompok ini bahkan dengan tidak tahu malunya menjarah 40 kg beras dan membakar 6 rumah. Keempat korban belakangan diketahui merupakan anggota jemaat Pos Pelayanan Gereja Bala Keselamatan.

Semua umat beragama dari agama manapun, yang tidak beragama sekalipun, sudah muak dengan perilaku para kelompok sempalan agama yang tidak tahu diri ini. Dalil-dalil mereka sudah jutaan kali dibantah oleh para ulama yang kompeten dengan argumentasi yang kuat berdasarkan Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Saw, dan kisah/contoh para ulama faqih dari setiap masa. Namun tetap saja, kebencian dan kedangkalan intelektual kelompok-kelompok ini memang amat tebal dan sulit ditembus. Kalau sudah seperti ini, selalu muncul pertanyaan, mereka mencontoh siapa?.

Ada lusinan kisah baik dari Rasulullah, para sahabat, ulama tabi’in, maupun tabi’it tabi’in yang menunjukkan betapa lembut sikap dan perilaku para teladan yang seharusnya dicontoh umat islam, alih-alih mengobarkan api peperangan atas dasar kebencian terhadap semua orang yang tidak sepaham. Untuk menjadi refleksi bagi kita semua, mari sejenak kita mengingat kisah-kisah yang menunjukkan kelembutan dan kedamaian yang dicontohkan Nabi dan para pendahulu. Untuk sedikit mengikis arogansi mayoritas yang kerap menjangkiti ummat, yang mungkin kita sendiri adalah atau pernah menjadi pelakunya.

Dikala ada orang yang mengaku islam bahkan mengaku mujahid, namun membunuh manusia lainnya tanpa belas kasih, lisannya dihiasi kebencian, wajahnya penuh amarah, ingatlah bahwa Rasulullah selalu santun dan lembut bahkan pada musuh ataupun orang yang menghina dan mendzholiminya. Mari kita ingat kembali salah satu kisah tentang akhlak Rasulullah.

Suatu ketika, orang-orang kafir Quraisy menyewa seorang Yahudi untuk menyakiti Nabi SAW. Di jalan yang biasa dilewati Nabi untuk menuju Ka`bah, orang Yahudi tersebut berdiri menunggu Nabi. Di saat Nabi lewat, dia memanggil Nabi. Nabi, yang selalu menghormati orang lain, pun menengok, Nabi tidak pernah mengecewakan orang yang memanggilnya. Di saat itulah orang Yahudi tersebut meludahi wajah Rasulullah SAW. Namun Nabi tak bereaksi, tidak sedikit pun menunjukkan rasa marah.

Keesokan harinya, Nabi kembali menuju Ka’bah melewati jalan yang sama. Dan beliau menyaksikan si Yahudi ada di tempat kemaren mencegatnya. Sesampainya di tempat yang sama, Nabi kembali dipanggil dan diludahi seperti sebelumnya. Kejadian itu terus berulang selama beberapa hari, hingga suatu hari Nabi tidak mendapati lagi orang yang meludahinya tersebut. Nabi dalam hatinya,“Ke mana gerangan orang yang selalu meludahiku?”

Setelah mencari informasi, Nabi mengetahui kalau orang tersebut sedang sakit. Nabi pun pulang ke rumah untuk mengambil makanan yang ada, membeli buah-buahan, dan berjalan menuju rumah si Yahudi untuk menjenguknya. Sesampainya di rumah si Yahudi, Nabi pun mengetuk pintu. Dari dalam rumah, terdengar suara lirih si Fulan yang tengah sakit mendekati pintu sembari bertanya, “Siapa yang datang?”

“Saya, Muhammad,” jawab Nabi.

“Muhammad siapa?” terdengar suara Yahudi itu kembali bertanya.

“Muhammad Rasulullah,” jawab Nabi lagi.

Setelah pintu dibuka, alangkah terkejutnya si Yahudi, menyaksikan sosok yang datang adalah orang yang beberapa hari lalu dia ludahi wajahnya.

“Untuk apa engkau datang kemari?” tanya Yahudi itu lagi.

“Aku datang untuk menjengukmu, wahai saudaraku. Karena aku mendengar engkau sedang sakit,” jawab Nabi dengan suara yang lembut.

“Wahai Muhammad, ketahuilah bahwa sejak aku jatuh sakit, belum ada seorang pun datang menjengukku. Bahkan Abu Jahal yang telah menyewaku untuk menyakitimu pun tidak datang menjengukku, padahal aku sudah beberapa kali mengutus orang kepadanya agar ia datang memberikan sesuatu kepadaku. Namun engkau, yang telah aku sakiti selama ini dan aku ludahi berkali-kali, yang pertama kali datang menjengukku,” kata Yahudi itu terharu. Bandingkan akhlak Nabi dengan para “mujahid” ini. Berbanding terbali, bagaikan timur dengan barat.

Kelompok ini dan kelompok sejenisnya tak henti-hentinya bermimpi untuk mendirikan pemerintahan islam, menegakkan syari’at dengan terus memupuk kebencian terhadap orang kafir, bahkan sesama muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Namun demikian, dibalik cita-cita itu, pernahkah mereka merefleksikan kisah di masa islam berkuasa, kisah di masa khulafa’urrasyidin, pernahkah mereka berusaha mencontoh, meniru, ataupun meneladani akhlak mereka?

Berkaitan dengan hal tersebut, mari sejenak kita mengingat kembali salah satu kisah di masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a dan seorang yahudi.

Gubernur Mesir Amr bin Ash meminta kepada seorang yahudi tua agar meninggalkan gubuk tempat tinggalnya yang kumuh dan reyot, karena di situ akan dibangun sebuah rumah gubernur dan masjid yang megah. Amru bin Ash kemudian memanggil Yahudi tua ini menghadapnya untuk merundingkan besaran uang dan kompensasi yang akan diterimanya.

“Hei Yahudi, berapa harga jual tanah milikmu sekalian gubuknya? Aku hendak membangun masjid di atasnya.”

Yahudi itu menggelengkan kepalanya, “Tidak akan saya jual, Tuan.”

“Kubayar tiga kali lipat dari harga biasa?” tanya Gubernur menawarkan keuntungan yang besar.

“Tetap tidak akan saya jual” jawab si Yahudi.

“Akan kubayar lima kali lipat dibanding harga yang umum!” desak Gubernur.

Yahudi itu mempertegas jawabannya, “Tidak!”

Sampai akhir pertemuan, kepada Amr dia mengatakan tetap tak mau memberikan tanah dan rumahnya untuk dijual kepada sang Gubernur Mesir tersebut. Warga pemeluk agama Yahudi ini tetap berkeras tak mau menjual karena tanahnya meski dalam kondisi berawa-rawa dan gubuknya yang reot tersebut adalah milik satu-satunya. (bersambung)

Yundari Amelia Chandra & M. Royyan

Comments (0)
Add Comment