Kemurahan hati Tuhan Yang Maha Esa membuat kita bisa merasakan berbagai nikmat yang mungkin tak bisa dirasakan orang yang berada di belahan bumi lain. Gumi Paer Dayan Gunung yang berarti wilayah yang terletak di sebelah utara Gunung Rinjani (daya berarti utara) merupakan kabupaten termuda di Pulau Lombok. Kabupaten Lombok Utara (KLU) secara resmi mekar dari Kabupaten Lombok Barat pada 24 Juli 2008. Kekayaan alam yang dimiliki kabupaten ini sangat beragam, mulai dari potensi pariwisata, kelautan dan perkebunan. Salah satu desanya yang termasuk wilayah Geosite Rinjani akan menjadi fokus bahasan pada artikel ini.
Desa Santong merupakan salah satu wilayah KLU dengan potensi yang cukup besar. Potensi wisata berupa air terjun merupakan primadona. Tercatat terdapat puluhan air terjun di desa ini, maka tak heran desa cantik ini mendapat julukan “The kingdom of waterfall”. Tak kalah melimpah ruah potensi hasil perkebunan, seperti pisang, cengkih, kakao, dan kopi. Tetapi jika dirunut ke belakang, potensi yang dinikmati oleh masyarakat saat ini tak serta merta ada. Perjuangan untuk menjadikan desa ini kaya dan subur nyata adanya.
Dahulu Desa Santong merupakan wilayah yang tandus dan gersang, hanya ditumbuhi oleh semak belukar dan ilalang. Keadaan berubah ketika pemerintah menjadikan desa ini sebagai percontohan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada tahun 1997, yaitu warga diberikan hak untuk mengelola kawasan hutan. Bantuan bibit dari Dinas Kehutanan Pemprov NTB serta perjuangan para pendahulu akhirnya berbuah manis dan bisa dinikmati hingga saat ini.
Ada hal menarik dari cerita tentang kebun kali ini. Desa santong yang letaknya di Kecamatan Kayangan merupakan salah satu wilayah penghasil cengkih (Eugenia aromatica L.). Melihat fakta saat ini, Indonesia merupakan Negara penghasil cengkih terbesar di dunia, pada tahun 2019 mencapai 134.000 ton per tahun. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa cengkih merupakan tanaman asli Indonesia dan kondisi alam, iklim serta topografi yang sesuai menjadi penguatnya. Tak heran jika sektor perkebunan cengkih memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia, khusunya wilayah KLU. Jika musim panen raya tiba, sektor ini secara otomatis membawa dampak yang besar, terutama dalam penyediaan lapangan kerja yang besar di Desa Santong. Dimulai dari buruh petik, buruh unuh (memungut cengkih), buruh potek, dan pengepul atau tengkulak.
Di Desa Santong, pohon cengkih terbanyak ada di Dusun Temposodo, berpuluh-puluh are kebun cengkih menjulang tinggi dan menyajikan kesejukan di sana. Panen raya berlangsung selama empat bulan, dari Juli-Oktober. Satu pohon lazimnya menghasilkan sekitar lima kilogram cengkih, tergantung besar dan lebatnya. Cengkih biasanya dijemur selama seminggu atau kurang, tergantung cuaca, hingga kering maksimal. Harga jual per kilogram juga cukup mahal tergantung kualitas, tahun ini berkisar antara Rp. 100.000-150.000. Tak heran banyak sultan mendadak di Desa Santong saat musim panen raya tiba. Tiba-tiba koleksi emas bertambah, kendaraan baru, tak jarang juga mereka menambah istri baru.
Pada saat musim cengkih tiba banyak masyarakat yang tiba-tiba banting stir. Misalnya dari tukang ojek menjadi buruh petik, ibu rumah tangga menjadi buruh unuh dan potek, dan lainnya. Hal ini tentu saja wajar, masyarakat terlihat realistis dengan memilih pekerjaan yang paling menguntungkan. Tetapi tahun 2020 kemarin pada saat pandemi, harga cengkih anjlok, maksimal hanya dihargai Rp. 50.000 saja per kilogram. Tentu saat itu para petani dan lainnya gusar karena harganya yang miring dan membuat kepala pening.
Pohon cengkih yang memiliki tinggi belasan hingga puluhan meter memiliki tantangannya sendiri. Buruh petik harus berjuang menaiki pohon dengan dua cara, pertama menggunakan anjah atau tangga bambu yang diletakkan dari sisi luar pohon. Kedua, dengan menaiki pohon secara langsung. Pemetik cengkih menaiki pohon sembari membawa gandek (alat untuk mengumpulkan buah cengkih berbentuk tas selempang yang terbuat dari anyaman bambu) atau karung beras yang diberi tali untuk dikalungkan. Tetapi jika tidak ada kedua hal tersebut, pemetik cengkih dapat menggunakan kain sarung yang dililit sehingga menyerupai tas.
Menjadi buruh petik merupakan pekerjaan yang paling berisiko karena dapat berujung celaka. Tak jarang setiap musim cengkih tiba ada saja orang yang terjatuh, entah dari anjah atau yang menaiki pohonnya langsung. Bahkan beberapa orang yang penulis kenal mengalami patah tulang dan kematian karena terjatuh dari pohon. Walaupun memberi dampak ekonomi yang bagus, tetapi disamping itu ada harga besar yang harus dibayar. Oleh karena itu menaiki pohon ini harus ekstra hati-hati dan pemetik harus dalam kondisi yang fit.
Umumnya buruh petik didominasi oleh kaum lelaki, tetapi tak jarang ada buruh petik dari kaum wanita. Walaupun terlihat sebagi pekerjaan yang maskulin karena memacu adrenalin. Sungguh terbalik dengan kenyataan di kota-kota besar bahwa ibu rumah tangga hanya bisa mengandalkan uang suami dan gemar bergosip. Mungkin para buruh petik perempuan bergosip juga, tetapi dari ketinggian belasan meter atau menunggu gandek mereka penuh dengan cengkih. Gandek penuh biasanya cukup berat karena berisi sekitar dua sampai sepuluh kilogram cengkih. Itu beban yang mereka bawa dari ketinggian demi menyambung hidup. Sungguh luar biasa.
Buruh unuh menjadi favorit bagi orang-orang yang tidak bisa menjadi buruh petik. Biasanya didominasi oleh anak-anak dan ibu-ibu yang sudah berumur. Ngunuh berarti memungut cengkih yang jatuh di bawah pohon ketika sedang dipetik. Benar-benar usaha yang ekstra karena sangat sering ditemukan pengunuh yang memungut cengkih pada malam hari atau waktu subuh sambil membawa senter. Tetapi biasanya ngunuh dilakukan saat ada orang yang sedang memetik langsung, karena katanya kita boleh meminta untuk dijatuhkan cengkih oleh para pemetik. Terkadang para pengunuh membawa perbekalan dari rumah saat mengunuh cengkih karena aktivitas tersebut memakan waktu seharian. Hasil unuhan biasanya dijual langsung ke pemilik pohon atau dikumpulkan sendiri kemudian dijemur hingga kering.
Salah satu teman penulis yang bernama Mariatun dapat membeli tiga gram emas dan memiliki tabungan uang dari hasil mengunuh cengkih. Hasil yang tak bisa dibilang sedikit karena tidak membutuhkan waktu lama sampai ia mendapatkannya. Tak heran jika musim ini menjadi yang paling ditunggu selain kopi dan kakao. Orang-orang yang bergelut di sektor ini sebagian besar sukses besar karena harga cengkih yang cukup baik dan kebutuhan cengkih cukup tinggi. Bahkan beberapa tuan (sapaan bagi orang yang sudah berhaji) juga dapat ke Tanah Suci karena hasil dari usaha cengkihnya. Masyarakat Desa Santong juga mulai banyak yang berinvestasi pada kebun cengkih karena mengetahui hasilnya yang sangat menguntungkan.
Tak kalah favorit juga adalah melepaskan cengkih dari tangkainya atau di Santong disebut dengan borek cengkeh. Ini menjadi aktivitas yang amat menyenangkan karena selain menghasilkan uang juga dapat menjadi sarana untuk bercengkerama. Masyarakat biasanya duduk melingkari cengkih yang dituang dari gandek lalu mempoteknya bersama. Hasil potekan ini dihargai sekitar Rp. 500-Rp 1.000 per kilo gram. Daripada hanya rebahan menghabiskan waktu, lebih baik duduk-duduk menghasilkan walaupun sedikit, ungkap para buruh potek.
Satu orang buruh potek kebanyakan mendapat tiga sampai belasan kilo gram dalam satu sesi potek, tergantung lama dan kecepatan poteknya. Mereka tidak langsung mengambil upah hasil potek, tetapi akan dikumpulkan sampai belasan hingga puluhan ribu. Pemilik cengkih terkadang menyediakan cemilan dan kopi untuk para buruh potek, agar membuat sesi potek-mempotek semakin seru.
Sama halnya dengan ngunuh, borek cengkeh juga didominasi oleh ibu-ibu dan anak-anak. Kegiatan yang satu ini menjadi aktivitas menyenangkan bagi mereka karena dapat berkumpul dan bertukar cerita melepas penat. Biasanya borek cengkeh dilakukan pada malam hari karena buruh petik baru selesai memetik cengkih pada sore hari. Pada kegiatan ini cerita tentang apa saja akan sangat mudah menyebar, entah yang baik atau buruk. Perkumpulan ini seperti ladang gosip yang serba tahu segala hal. Bahkan tak jarang hoaks juga menjadi langganan. Tentu akan sangat mudah menyebar di kalangan para buruh potek karena jumlah mereka yang banyak dan berasal dari berbagai gubuk (kampung kecil di dalam dusun).
Masa pandemi tak menjadi halangan untuk tidak melakukan kegiatan tersebut. Saat memotek cengkih, mereka akan membuat zona sendiri dalam lingkaran sebagai tempat untuk mengumpulkan cengkih hasil potekan mereka. Sehingga jarak tetap terjaga, tetapi penggunaan masker masih sangat minim. Masyarakat cenderung abai pada penggunaan masker yang mereka anggap “ribet”. Hal ini tentu kurang baik, mengingat masyarakat harus bersinergi untuk memerangi virus ini.
Nilai kebersamaan tentu semakin kuat pada aktivitas tersebut karena terus menyambung silaturrahmi antar masyarakat. Jalinan emosional antar para buruh cengkih sangat manjur dijadikan pupuk untuk menjaga kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi tersebarnya informasi yang kurang tepat pada lingkaran tersebut juga perlu diwaspadai karena kelompok-kelompok kecil yang berisik dapat menjadi penyumbang menyebarnya disinformasi.
Ilustrasi : Cholenesia