Amel dan Royyan
“Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi”.
Demikian salah satu quote Gus Dur yang nampaknya sederhana namun sejatinya amat dalam. Mata kita seringkali melihat perdamaian hanya dalam kerangka yang sempit, sekedar ketiadaan perang dan konflik bersenjata, perdamaian hanya dipahami secara “ẓāhir” amat jarang dalam bentuk “batin”. Di titik inilah kebijaksanaan Gus Dur nampak jelas dengan kepekaannya terhadap makna sejati perdamaian. Mata Gus Dur melihat perdamaian secara utuh, tidak hanya dalam bentuk fisik saja. Boleh jadi suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu terlihat kondusif dan damai, namun dari segi batin terdapat titik-titik api yang merupakan dari “ketidakadilan”. Hal itu begitu rawan dieksploitasi oleh oknum-oknum yang tidak beradab demi kepentingannya. Keadilan adalah syarat mutlak perdamaian dan toleransi adalah jembatannya.
Makna “adil” yang sering dirasa sederhana ini kerap kali gagal terwujud pada tindakan-tindakan kita dalam masyarakat dikarenakan berbagai bias dalam pemikiran kita yang merupakan buah dari perbedaan latar belakang. Perbedaan itu mulai dari agama, suku, ras, adat dan kebiasaan, keadaan ekonomi, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Kesemua itu berpengaruh dalam membentuk persepsi kita soal apa itu keadilan dan bagaimana sikap yang adil. Berkaitan dengan hal tersebut, menarik untuk mengutip salah seorang filsuf Amerika Serikat yang terkenal pada abad ke-20 John Rawls yang merumuskan keadilan secara makna dan sikap dalam salah satu karyanya yang merupakan salah satu teks primer di dalam filsafat politik yakni “A Theory of Justice”.
John Rawls dalam buku tersebut menyatakan bahwa keadilan seharusnya bersifat “kontraktual” atau berdasar kesepakatan segenap warga masyarakat terhadap apa yang dikatakan sebagai adil serta bagaimana mempertahankan keadilan. Dikarenakan keadilan yang sifatnya kontraktual tersebut maka ia harus dicapai melalui diskursus yang sifatnya rasional, bebas, dan demokratis. Melalui diskursus inilah masyarakat dapat sampai kepada pemahaman dan implementasi dari keadilan. Masyarakat yang terlibat dalam diskursus tersebut juga harus berada dalam apa yang disebut oleh John Rawls sebagai “Original Position” atau “posisi asali” yang merupakan keadaan bebas dari keberpihakan dan tidak memiliki persepsi tersendiri mengenai keadilan yang dimana ini dapat dicapai jika seseorang berada dibalik “Veil of Ignorance” atau “tabir ketidaktahuan”.
Veil of Ignorance atau Tabir Ketidaktahuan merupakan eksperimen pemikiran dimana setiap orang harus membayangkan keadaan dirinya sebelum dilahirkan, tanpa pengetahuan akan terlahir dari siapa, dari lingkungan masyarakat apa dia akan lahir, dan bagaimana keadaan masyarakat dimana dia dilahirkan dan sebagainya. John Rawls dalam eksperimen tersebut mengajukan pertanyaan “jika kita tidak tahu sama sekali dimana kita akan dilahirkan maka keadaan masyarakat macam apa yang kita rasa aman untuk kita tinggali?”.
Teori keadilan yang dirumuskan John Rawls ini dianggap sebagai kajian yang komprehensif dan brilian atas makna keadilan dalam ilmu filsafat yang kemudian melambungkan namanya. Menurutnya, hanya orang-orang tertentu dengan kemampuan bernalar sesuai dengan standar formal ilmu pengetahuan yang dapat berada dalam posisi asali tersebut. Namun demikian, tanpa perlu mencari jauh-jauh, di Indonesia kita pernah punya Gus Dur, seseorang yang mampu bersikap secara objektif, bebas bias dan diskriminasi.
Keadilan dan toleransi terwujud nyata dalam sikap dan tindakan-tindakan Gus Dur yang tidak pandang bulu dalam membela keadilan dan kemanusiaan, tidak membedakan agama, suku, ras, atau kedudukan sosial apapun untuk melakukan yang dianggapnya adil. Bahkan, tidak takut mengorbankan citranya sebagai ulama dan politisi seperti ketika membela Ulil Abshar Abdalla yang terancam hukuman mati dan menyatakan permintaan maaf atas peristiwa 1965. Sesuatu yang sangat tabu dalam masyarakat kita, yang tidak pernah dilakukan presiden lain.
Dalam buku Gus Dur yang berjudul “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, kita dapat melihat sedikit penggalan perjalanan pemikiran Gus Dur yang membangun pola pikir Gus Dur yang kita kenal objektif, adil, dan toleran ini. Sejarah perjalan Gus Dur dari yang ekstrimis ke nasionalis menunjukkan bahwa ia telah melakukan pengembaraan pemikiran yang membuatnya mampu melihat permasalahan dengan perspektif yang lebih luas. Dalam buku tersebut juga, pemikiran adil dan toleran Gus Dur yang lekat dengan nafas islam jelas terlihat, dengan salah satu ayat surat An-Nisa yang ia kutip, “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksi-saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri”. Dari ayat ini menurut Gus Dur tampak jelas bahwa rasa keadilan menjadi titik sentral dalam Islam. Sejalan dengan prinsip tersebut Gus Dur juga mengkritik kebijakan tentang keturunan Tionghoa yang hanya boleh mengisi 15% kursi mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri. Disamping itu juga ia dengan “seimbangnya” mengkritik “kuota halus” di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager dari “orang-orang pribumi asli” dalam perusahaan-perusahaan besar milik mereka.
Terobosan Gus Dur yang juga menjadi wujud kemajuan negara dalam bidang HAM pada zamannya adalah pencabutan inpres Nomor 14 tahun 1967 mengenai larangan melakukan perayaan, pesta agama atau adat istiadat di muka umum bagi warga tionghoa. Jika dilihat sekilas, mungkin tidak begitu signifikan dikarenakan jumlah warga tionghoa yang sedikit dan keadaan juga kelihatannya masih kondusif. Akan tetapi, Gus Dur memahami bahwa “perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi” tindakan tidak adil tidak bisa dibiarkan. Sekalipun gejolak “fisik” tidak terjadi, selama ketidakadilan masih terjadi, masyarakat tersebut belum bisa dikatakan damai. Pencabutan inpres tersebut tidak bertele-tele, prosesnya dilakukan cepat khas Gus Dur, dengan spontan Gus Dur berkata “Gampang, inpres saya cabut”, dan terbitlah Keppres Nomor 6/2000 dan rakyat Tionghoa bebas menjalankan budayanya.
Gus Dur adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu mencapai “posisi asali” dalam menentukan tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Gus Dur mengajarkan kita tentang toleransi dan keadilan, mengajarkan kita untuk jujur terhadap diri sendiri dan orang lain dalam kata-kata dan tindakan, menghapus bias dalam diri dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di atas perbedaan-perbedaan yang sangat patut untuk menjadi tauladan anak-anak bangsa terlebih di masa dimana polarisasi politik dan narasi kebencian amat tajam layaknya hari ini. Pada bulan kelahiran Gus Dur ini serasa tepat untuk berkontemplasi dan me ngevaluasi diri sejauh mana kita dapat bersikap toleran dan adil.