Jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) semakin meningkat. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan jumlah PMI pada 2019 ada sebanyak 276.553 orang, 70% di antaranya merupakan perempuan yaitu 191.237. Di Provinsi NTB pada 2019 tercatat jumlah PMI berada di posisi keempat yaitu 30.706 dan Lombok Tengah menempati urutan ketujuh Kabupaten/ Kota dengan jumlah PMI terbesar di Indonesia, yaitu 8.957.
Jumlah PMI yang semakin banyak, tentu saja akan muncul permasalahan, diantaranya masalah yang sering kali terjadi pada keluarga Perempuan PMI, yaitu tidak stabilnya pengelolaan uang hasil kerja PMI, terjadi perselingkuhan dan perceraian dalam keluarga PMI, kurangnya perhatian terhadap tumbuh kembang anak – anak PMI yang seharusnya mendapatkan pola asuh kepada kedua orang tuanya dan mendapatkan sesuai hak – haknya.
Permasalahan Anak Pekerja Migran menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah Provinsi NTB bersama stakeholder terkait terus mengupayakan agar dapat mengatasi hal tersebut agar anak – anak pekerja migran dapat memperoleh hak dan dapat menjadi generasi penerus bangsa apabila diarahkan secara baik.
Perlunya edukasi secara holistik yang dapat dimanfaatkan melalui posyandu keluarga. Masyarakat dapat datang ke posyandu keluarga guna sebagai wadah yang diharapkan mampu menampung permasalahan sosial dan kesehatan yang dialami masyarakat NTB. Kegiatan posyandu dilakukan setiap bulan di seluruh dusun di Provinsi NTB.
Hal tersebut disampaikan oleh oleh Wakil Gubernur NTB Siti Rohmi Djalilah dalam Webinar PPKP bertajuk “Berbagi Peran Untuk Keberlanjutan Program Peduli Sub Pilar Anak Pekerja Migran di Nusa Tenggara Barat” yang berlangsung di Lombok Timur, Selasa (13/10).
“Sehingga kegiatan ini dapat berkelanjutan dan memberikan hasil, jika masyarakat sudah teredukasi mereka akan tahu apa yang terbaik buat dirinya, sehingga program pembangunan bukan hanya untuk pemerintah tetapi wujudnya adalah untuk masyarakat itu sendiri” tuturnya.
Selain itu, Umi Rohmi menilai kerja sama dari berbagai stakeholder sangat dibutuhkan, sebagai wujud sinergitas bersama. “Kerja sama dari seluruh stakeholder itu menjadi sangat penting, pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri. Peran NGO lainnya sangatlah besar dalam bersama-sama menggotong royong, bekerja bersama dalam seluruh elemen masyarakat khususnya yang langsung menyentuh pada masyarakat bawah termasuk mengenai masalah pekerja migran” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas DP3AP2KB Ir. Husnanidiaty Nurdin, MM mengapresiasi keberadaan NGO sebagai pendampingan masyarakat yang berada di lapangan.
“Jika di lapangan kita tidak memiliki orang – orang di lapangan akan susah, keberadaan di lapangan adalah kata kunci demi anak – anak mendapat perhatian dan pemenuhan hak – hal dapat tercapai” tutur mantan Kadispora NTB.
Suharti merupakan Direktur SANTAI NTB menjelaskan kondisi ekslusi sosial anak pekerja migran terjadi pada stigma atau bullying, minimnya adminduk, Bansos dan tidak terdata, pergaulan bebas dan menikah di usia muda, pengasuhan tidak layak dan putus sekolah, serta kurang dilibatkan dan beda dengan anak yang lain.
“Kami berharap agar stigma yang diberikan kepada anak – anak pekerja imigran tidak ada lagi sehingga penerimaan sosial terhadap keberadaan mereka bisa diterima dilingkungan mereka” tuturnya. (Sher@DDNTB)