free page hit counter

Baik sekali apabila kita terlebih dahulu memahami bersama bahwa toleransi adalah sikap menerima dan menghargai segala perbedaan yang ada. Tak hanya dipahami secara sempit pada dimensi agama, toleransi memiliki berbagai warna yang melingkupi banyak lini kehidupan di masyarakat. Istilah tersebut menjadi penunjang terwujudnya kehidupan masyarakat yang harmonis. Pada abad 17, toleransi menjadi sarana protes yang ditulis di berbagai pamflet atas perlakuan inkuisisi dan persekusi dari Gereja. Selama abad 18M, toleransi tidak hanya alat untuk memperjuangkan kebebasan dari agama, namun juga untuk memperjuangkan tatanan kehidupan sosial yang sekuler yang menjadi cikal bakal tegaknya demokrasi liberal di Eropa yang kita kenal saat ini (Goudsblom, dalam Doorn, 2012). Pada masa sekarang, term toleransi tidak lagi dimaknai sebagai toleransi dalam konteks agama saja, namun meluas yang meliputi orientasi politik, keragaman etnis dan ras, isu gender, LGBT, euthanasia, serta aborsi (Doorn, 2012). Mendiami Negara yang penuh dengan keberagaman dan perbedaan, tentu sangat lekat dengan toleransi, mau pun kebalikannya. Selain sebagai warna dan ia juga pengikat kemajemukan yang kita miliki. Kendati demikian negri ini tak lepas dari berbagai kasus yang mengiringi. Tumbuh bersama pluralisme terkadang memicu adanya sikap etnosentris sehingga kita menganggap golongan kitalah yang terbaik. Benih-benih itu bisa tumbuh menjadi kebencian yang dapat akhirnya memecah-belah bangsa kita karena mengabaikan toleransi dan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal dalam Pancasila dan UUD 1945 Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayannya itu.” Adanya landasan yang kuat tak menjamin Negara dapat terbebas dari kasus intoleransi. Bahkan jika melihat data saat ini, dilansir dari laporan Komnas HAM dari tahun ke tahun intoleransi di Indonesia justru mengalami peningkatan. Kasus-kasus intoleransi muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari intimidasi, diskriminasi, dan berbagai tindakan represif. Tahun 2014 tercatat 74 kasus, 2015 naik menjadi 87 kasus. Kemudian di tahun 2016 melonjak hampir mendekati 100 kasus. Khusus pada aspek kebebasan beragama/berkeyakinan, menurut data dari Setara Institute, pada tahun 2019 terdapat 200 kasus. Kemudian pada tahun 2020 menjadi 422 kasus. Terlebih di masa pandemi ini, angka intoleransi terlihat lebih subur daripada tahun sebelumnya. Dari total kasus tersebut, sebanyak 27 pelaporan disebabkan oleh penodaan agama berbasis daring. Hal tersebut terjadi akibat pandemi covid-19 yang membuat orang-orang menjadi memiliki lebih banyak waktu luang untuk mengakses sosial media karena dirumahkan. Jika kasus intoleransi mengusik pendengaran kita, maka pasti ada cerita toleransi yang menginspirasi. Merujuk dari penjelasan Pdt. Sylvana Apituley pada Workshop Akademi Milenial Basmi Hoax (AMBH), common ground yang merupakan titik pijak yang disepakati oleh masyarakat menjadi salah satu syarat harmonisnya hubungan antar masyarakat. Nilai-nilai kemanusiaan seperti kepercayaan atau trust, kesediaan untuk memahami yang lain, empati, dan berbela rasa atau solider yang dijunjung tinggi mensyaratkan keterbukaan, respek, dan penghargaan terhadap keunikan masing-masing. Hal ini nyata terjadi di salah satu wilayah Indonesia. Pulau Lombok misalnya, Walaupun dikenal dengan nama Pulau Seribu Masjid, namun pulau ini tak hanya didiami oleh umat Islam. Suku Sasak adalah suku mayoritas yang mendiami pulau ini. Kedamaian dan keharmonisan adalah dua kultur dominan yang dipegang oleh mereka. Bahkan idiom yang dikenal di wilayah ini sebagian besar berkaitan dengan orientasi kedamaian. Kabupaten termuda di Pulau Lombok, Lombok Utara (KLU) bahkan menyimpan cerita toleransi nan harmoni tersendiri. Menurut data dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara, pada tahun 2017 jumlah pemeluk agama islam masih yang terbesar yaitu sekitar 200.319 jiwa. Pemeluk agama lainnya yaitu Hindu dan Buddha masing-masing sebanyak 8.581 dan 7.521 jiwa. Salah satu dusun yang terletak di Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, di sini warganya hidup damai dengan warna toleransi yang patut kita acungi jempol. Tebango namanya, berasal dari kata tebeng (dalam bahasa Sasak berarti diberi atau berkumpul). Sehingga secara harfiah Tebango artinya berkumpul untuk mendapat pencerahan. Masyarakat yang hidup di dusun ini hidup rukun dan harmonis walau memiliki keyakinan yang berbeda-beda, mereka tumbuh bersama dengan motto ‘satu bumi, satu langit, satu umat kemanusiaan’. Masyarakat Dusun Tebango yang dihuni oleh sekitar 350 kepala keluarga ini sebagian besar beragama Islam, Buddha dan Hindu. Tidak pernah sekalipun tercatat gesekan yang menghinggapi dusun kecil ini. Kalau kita telisik, nilai common ground yang membuat mereka menjadi begitu harmonis adalah tempat kelahiran dan tempat tinggal yang sama, kemudian mereka tumbuh dan mengalami sejarah yang sama, lalu adanya pengetahuan dan keterampilan yang sama, kebutuhan akan rasa aman, serta tujuan dan harapan yang sama. Beberapa kesamaan itulah yang akhirnya menjadi alasan mereka melebur tanpa memandang perbedaan. Hal itu juga diperkuat juga dengan motto hidup mereka yang memandang semua setara sehingga saling menjaga karena merasa ‘satu umat kemanusiaan’.Toleransi yang mewarnai hari-hari mereka terus dipupuk dengan semangat gotong royong. Hal itu menjadi penyubur toleransi yang selalu mereka amalkan di kehidupan bermasyarakat. Mereka saling membantu satu sama lain tanpa melihat garis samar yang membedakan cara mereka berkomunikasi pada Tuhan. Misalnya saat umat Hindu dan Buddha sedang membangun tempat peribadatan, umat muslim dengan senang hati bahu-membahu membantu mereka, vice versa. Ada satu bentuk cinta lain yang membuat kita berdecak kagum sekali lagi. Di masa pandemi ini, berbagai hal baik dilakukan oleh masyarakat. Umat Buddha Dusun Tebango mengadakan bakti sosial dengan membagikan masker dan sembako untuk keluarga yang terpapar covid, juga membagikan hand sanitizer secara acak untuk warga Lombok Utara. Tak luput dari pandangan ada sebuah cerita menarik saat hari raya Idul Adha 1442 H kemarin. Tak ada gesekan, apalagi konflik antarumat, yang ada hanya meningkatnya kepekaan dan kepedulian sosial. Manakala akan melaksanakan Salat berjamaah di masjid, sebanyak 1.500 lembar masker dibagikan oleh Keluarga Budhayana Indonesia (KBI) NTB kepada Jemaah muslim di empat masjid yang ada di Kecamatan Pemenang.Pembagian masker melibatkan sekitar 15 pemuda KBI, tidak hanya membagi masker, muda-mudi KBI juga mengatur sandal para jamaah yang sedang Salat agar tertib dan memudahkan mereka menemukannya. Hebatnya lagi, kegiatan seperti ini akan kembali dilakukan dengan cara mengunjungi pasar-pasa di KLU. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi untuk membantu pemerintah agar penularan covid dapat segera ditanggulangi. Kontribusi kebaikan tersebut tak luput dari adanya dorongan parah tokoh agama Buddha yang menganjurkan agar selalu berbuat kebaikan. Romo Mertawadi yang merupakan pengurus KBI NTB, mengatakan, pembagian 1.500 masker adalah bentuk dukungan untuk memperlancar ibadah Salat Idul Adha sesuai Protokol Kesehatan Covid-19.Toleransi yang tinggi di Dusun Tebango harusnya bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Andaikan seluruh wilayah di Indonesia bisa semanis ini, pasti harmoni bukan hanya mimpi.

Penulis : Amel

Ilustrasi : Zulhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *