Belajar memahami perbedaan satu sama lain serta menerapkan nilai-nilai Islam dalam konteks sosial masyarakat yang beragama di Indonesia penting dilakukan mengingat Islam merupakan agama mayoritas. Namun dalam dimensi lain, seperti isu-isu intoleransi, isu-isu teror, dan bentuk-bentuk ketakutan berlandaskan agama seringkai menjadi bahan atau dasar untuk memecahbelah negara terutama dalam konteks multikulturalisme beragama di Indonesia. Multikulturalisme beragama adalah bentuk keragaman beragama yang dianut oleh masyarakat dalam suatu negara, baik itu muslim maupun yang non muslim. Dari landasan seperti dijelaskan di muka, maka dengan ketidakmampuan masyarakat dalam memahami keberagaman dalam beragama terlebih di negara plural seperti Indonesia di atas, masyarakat secara umum saat ini sering distereotipkan dan mudah sekali dijadikan sebagai objek dalam perilaku dan ideologi atau pemahaman beragama yang cenderung lebih keras. Sebab itu integrasi nilai-nilai Islam sangat penting untuk dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya ajaran Islam mencakup segala hal dalam kehidupan, termasuk diantaranya ajaran mengenai pentingnya menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai contoh kecil, ajaran Islam mengajarkan kita tuntunan dari bangun tidur hingga hendak akan tidur Kembali. Lebih dari itu, bukan hanya urusan akhirat, Islam juga memberikan kita tuntunan bagaimana mengisi dan menerapkan praktik-praktik kehidupan di dunia sampai masuk ke liang lahat hingga berlanjut ke kehidupan selanjutnya yakni akhirat.
Ajaran Islam menuntut kita untuk menjaga baik hubungan kita dengan Allah (HablumminAllah), ketaatan kepada Allah dan hubungan baik dengan sesama manusia (Hablumminannas). Oleh sebab itu, selain menjaga hubungan baik dengan sang pencipta, kita di dunia ini juga dituntut untuk tetap menjaga hubungan dengan sesama manusia.
Dalam surat anbiya ayat 107 hal ini pula telah dijelaskan oleh Allah sebagaimana bunyinya;
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. Maksud dari diutusnya Nabi Muhammad ke bumi adalah dengan membawa ajaran Islam, bukan untuk memerangi bahkan membunuh orang-orang kafir, melainkan untuk menciptakan iklim perdamaian.
Hal ini telah pula ditegaskan oleh Allah sebagaimana bunyinya,
“Dan Kami tidak mengutus engkau Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Artinya, segala perlindungan, kedamaian, dan kasih sayang yang lahir dari ajaran Islam dan pengamalan nilai-nilai Ke-Islaman yang baik dan benar tercermin dalam kehidupan dan perilaku Rasulullah menjadi suri tauladan umat manusia. Sehingga jelas, apa yang telah difirmankan Allah SWT dalam firmannya itu menjadi pembelajaran dan pedoman bagi kita dalam hidup bermasyarakat, mengedepankan hidup toleransi, dan mengerti satu sama lain dalam nuansa perbedaan bukan malah menyebarkan isu-isu provokatif memecahbelah negara dengan embel-embel agama.
Dari Hadits yang diriwayatkan HR. Muslim, hidup damai dalam keimanan masing-masing juga telah dijelaskan sebagai syarat utama umat manusia dapat masuk ke surga.
“Tidak akan masuk surga kalian sebelum beriman”.
Berikut kutipannya,
“Dan, kalian tidak dikatakan beriman sebelum saling menyayangi. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling menyayangi? Sebarkan salam di antara kalian”.
Jadi dapat dikatakan bahwa, antara iman dan perilaku kita terhadap sesama manusia memiliki keterkaitan yang erat sesuai dengan konteks Hadist di atas. “Tidak akan masuk surga kalian sebelum beriman”, yang mana petikan ini menunjukkan bahwa perlunya pengakuan (iman) dalam diri seseorang atas ketuhanan yang di yakini. “Dan, kalian tidak dikatakan beriman sebelum saling menyayangi”, bisa ditafsirkan bahwa, kita sebagai Ummat Islam tidak dikatakan beriman jikalau kita tidak saling menghormati, mengakui keberadaan orang lain, serta menyayanginya. Integrasi (Kesinambungan) keimanan seseorang bisa dikaitkan dengan menunjukkan komitmen untuk menjaga kedamaian, keselamatan orang lain dan lingkungannya, karena cita-cita atau niat baik setiap muslim pun harus dicapai melalui cara yang wajar dengan tidak menyakiti dan mengganggu keselamatan orang lain.
Oleh karena itu, dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, dengan keimanan dan sikap perilaku seseorang harusnya menjadi aspek dasar untuk hidup toleransi dan saling memahami satu sama lain. Apalagi, di zaman yang kompetitif serta ruang lingkup informasi yang sangat cepat dan masif seperti sekarang, masyarakat juga secara tidak langsung dituntut harus mampu mempraktikkan nilai-nilai Islam tersebut dalam kehidupan sehari-hari, untuk ketercapaian tatanan hidup yang damai tentu dalam konteks bernegara. Karena dengan berperilaku menyimpang dari ajaran tersebut jelas sangat bertolak belakang dari ajaran agama Islam dan ajaran agama itu sendiri tidak mengajarkan ha-hal tersebut terlebih dengan cara-cara yang keras dan keji.
(Akbar Farouk Aufa)