Di penguhujung tahun 2000, 22 Tahun silam, umat Islam dan umat Kristiani sedang bersuka-cita, mereka akan menyambut dua hari besar yang datang berdekatan, Hari Raya Natal pada 25 Desember dan Hari Raya Idul Fitri 1421 Hijriah pada 27 Desember pada Kalender Masehi.
Namun, suka cita itu seketika berubah menjadi duka, dua hari menjelang Lebaran 1421 Hijriyah. Secara serentak bom meledak di sejumlah Gereja yang ada di Indonesia. Saat itu tengah berlangsung Misa Natal pada Minggu, 24 Desember 2000. Ledakan terjadi di Kota Medan, Pematang Siantar, Batam, Kota Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Kota Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto, dan Kota Mataram, NTB.
Di Batam, ledakan terjadi di Gereja Katolik Beato Damian Bengkong, Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Sungai Panas, Gereja Bethany Lantai II Gedung My Mart Batam Center, dan Gereja Pantekosta di Indonesia Pelita, Jalan Teuku Umar. Di Pekanbaru, bom meledak di Gereja HKBP Pekanbaru di Jalan Hang Tuah dan Gereja di Jalan Sidomulyo.
Sementara di Jakarta, bom menghajar empat Gereja dan satu sekolah, yaitu Gereja Katedral, Gereja Matraman, Gereja Koinonia Jatinegara, dan Gereja Oikumene Halim, serta Sekolah Kanisius Menteng Raya.
Bom juga meledak di Sukabumi, tepatnya di Gereja Pantekosta Sidang Kristus di Jalan Masjid 20 Alun-alun Utara dan Gereja di Jalan Otto Iskandardinata.
Di Kudus, ledakan terjadi di Gereja Santo Yohanes Evangelis di Jalan Sunan Muria 6. Di Bandung, bom meledak di Pertokoan Jalan Cicadas dan di Jalan Terusan Jakarta 43.
Mojokerto diserang empat ledakan, yaitu Gereja Allah Baik di Jalan Tjokroaminoto, Gereja Santo Yosef di Jalan Pemuda, Gereja Bethany, dan Gereja Eben Haezer di Jalan Kartini.
Di Kota Mataram, serangan bom terjadi di Gereja Protestan Barat Imanuel di Jalan Bung Karno, Kompleks Pemakaman Kristen Taman Kapitan Ampenan, dan di Gereja Betlehem Pantekosta Pusat Surabaya (GBPPS) yang berada di Ujung Jalan Pemuda, tepat berada di samping Sekretariat Duta Damai Nusa Tenggara Barat saat ini.
Dibalik itu, ada kisah lain yang luput dari ingatan kolektif masyatakat terhadap peristiwa kelabu malam kudus tersebut. Pada sore hari 24 Desember 2000 yang kala itu juga sedang pertepatan dengan hari ke-28 bulan Ramadan, Pemuda Muslim bernama Riyanto berpamitan kepada ibunya, Katinem, untuk turut menjaga Gereja Eben Haezer Mojokerto bersama sejumlah anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) lainnya. Ia melewatkan buka puasa bersama keluarganya untuk menjaga gereja. Ia juga meminta izin untuk tidak pulang ke rumah, karena berencana akan beriktikaf di masjid selepas tugas menjaga gereja.
Aktivitas menjaga gereja oleh Banser memang rutin dilakukan sejak 1996. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menginstruksikan kepada Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) sebagai badan otonom sayap kepemudaan Nahdlatul Ulama untuk menjaga gereja sebagai buntut dari kerusuhan dan pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur.
Tragedi itu tak lepas dari situasi panas antar-agama karena konflik umat Kristen dengan Muslim di Ambon tahun 1999, sebagian tokoh Islam garis keras saat itu berharap Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengirim Banser ke Ambon untuk membantu kelompok Islam dalam konflik itu. Namun, almarhum Gus Dur menolak tegas desakan itu dan memilih mengambil jalan tengah. Gus Dur ingin melerai konflik itu. Sikap Gus Dur terlihat saat memerintahkan Banser menjaga gereja-gereja di seluruh Indonesia atas nama kemanusiaan.
Sesuai perintah itu, Riyanto dan jajaran Banser di Mojokerto pun menjaga GSJPDI Eben Haezer. Para anggota Banser yang berjaga di gereja Eben Haezer berbuka puasa di sana dan bergantian menunaikan salat. Pada pukul 19.45, seorang jemaat kebaktian melihat ada tas mencurigakan yang tergeletak di bawah telepon umum depan gereja. Riyanto membawa tas tersebut ke seorang polisi Aiptu Agus Prayitno Handoko yang sedang bertugas dan saat diperiksa di dapati isinya berupa bom yang segera meledak.
Petugas yang memeriksa segera memperingatkan untuk mundur, namun menurut kesaksian petugas tersebut, Riyanto justru memungut tas kresek tersebut, memeluknya dan hendak memasukkannya ke dalam selokan untuk menjauhkan bom dari gereja dan jemaat yang sedang khusyuk beribadah didalamnya. Namun naas, belum sempat dilempar kedalam selokan bom meledak dalam pelukan dan menewaskan Riyanto. Menurut keterangan dari sumber lain, tubuh Riyanto terpental 30 meter dari titik ledakan. Salah seorang kawan Riyanto, Amir, terkena luka sobekan akibat serpihan ledakan tersebut.
Tidak ada jemaat yang menjadi korban jiwa. Namun, Riyanto wafat. Tepat saat nuraninya terketuk untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Bisa dibayangkan bila bom yang dibekap Riyanto ini meledak di dalam ruangan tertutup, korbannya akan banyak sekali, efek ruangan tertutup akan memantulkan energi bom.
Jasa dan keberanian Riyanto memang luar biasa. Tak heran bila Kota Mojokerto mengabadikan namanya menjadi nama jalan, lengkap dengan gapura megah di depannya. Sutradara Film ternama seperti Hanung Bramantyo pun membuat film berjudul “?” yang terinspirasi dari kisah Riyanto tersebut.
Setelahnya terjadi berbagai macam pro kontra tentang kenapa sih Banser yang seorang muslim harus menjaga Gereja yang notabene adalah tempat beribadah umat kristiani. Namun satu waktu, Gus Dur pernah mendapat pertanyaan tentang hukum menjaga gereja. Gus Dur pun menjawab, “Kamu niatkan jaga Indonesia bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab gereja itu ada di Indonesia, Tanah Air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apa pun di bumi Indonesia”.
Bagi Riyanto, bukan soal halal haram atau menjadi kafir dan murtad karena menjaga gereja, tapi dia rela mengorbankan hidup demi hidup orang lain, sekalipun berbeda keyakinan dengan dirinya. Dia tidak mempertanyakan agamanya apa, Tuhannya siapa. Karena menurutnya kemanusiaan jauh lebih penting dari semua itu. Dia bukanlah orang yang berpenampilan soleh, berjubah, bersorban panjang, berjenggot tebal dan berjidat hitam. Tapi justru hanyalah seorang pemuda anggota Banser NU yang sederhana. Ketika banyak dari kita yang berulah sok menjadi tuhan-tuhan cebol, berbusa-busa hujjah hanya untuk menghakimi dosa orang lain, mengkafirkan manusia-manusia lain, bahkan gembar-gembor dalil untuk menghalalkan nyawa orang lain, Riyanto tak butuh dalil untuk mematahkan itu semua.
Mungkin yang dia tahu, semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang sama, mempunyai hak hidup yang sama. Apa yang dilakukan Riyanto melampaui kata-kata, melampaui dialog dan omongan pepesan belaka, melampaui kita yang selalu belajar dan mencari tentang makna kemanusiaan, membaca dari berbagai macam referensi dan teori. Riyanto justru mempraktekkan pada kita hakikat tertinggi dari nilai-nilai kemanusiaan itu, dengan tindakan nyata memeluk kemanusiaan, dia sudah jauh melampaui semua itu, yang dia tahu adalah ini tugas kemanusiaan.
Belajar dari Riyanto, sudah sepatutnya kita kembali memupuk nilai-nilai kebersamaan kita, saling menjaga satu sama lain apapun latar belakangnya. Menebarkan pesan-pesan perdamaian, persaudaraan, dan mengajak untuk hidup harmonis dalam segala perbedaan. Bersama kita mengutuk aksi teror atas nama apapun, apalagi jika mengatasnamakan agama. Sebab, aksi terorisme bukanlah bagian dari sebuah perjuangan membela agama. Terorisme bukanlah tujuan dari pencapaian sebuah kedamaian. Terorisme hanya meninggalkan luka yang semakin dalam bagi orang-orang yang ditinggalkan. Jika semua hal di dunia ini dibalas dengan kekejaman yang tidak berperikemanusiaan, dunia hanya akan dipenuhi oleh penjahat.
Penulis: Nanda Mulajati
Ilustrasi: Majidi Aprizan