Di tengah panasnya persoalan pandemik, kita lagi-lagi berhadapan dengan panasnya beradu argumen di lini sosial media. Persoalan mudik dan pulang kampung yang seketika menjadi bahan olok-olokan untuk sosok pemimpin sendiri. Rasanya tidak etis menjadikan ini sebagai kebiasaan. Lebih-lebih Ramadhan baru saja datang dan kita menyambutnya degan berbagai jenis hate speech atau ujaran kebencian.
Lucunya semua orang sangat gemar dengan hal ini. Saya mulai memikirkan di mana letak adab kita dalam berbicara. Beberapa waktu sebelumnya, di salah satu laman sosial media lokal yang digandrungi anak muda, terdapat postingan berupa gambar nenek-nenek yang menjadikan bungkul pisang sebagai masker. Demi sebuah harga ketenaran, diposting untuk mengundang tawa dan olok-olokan.
Ironisnya, sejak kapan derita orang dapat kita pilih sebagai bahan hiburan. Agak ngeri mengetahui bahwa selera humor kita telah bergeser dan menjadi agak gelap. Mungkin karena belakangan ini otak kita dipenuhi dengan hal-hal sedih yang menguras perasaan.
Sebagai manusia yang normal, tulisan ini tak hendak menjadikan pembelaan bagi pihak manapun. Ini hanya sebatas keresahan tentang kebiasaan kita yang akhirnya makin mengerikan. Bulliying secara tidak langsung kita lakukan kepada siapapun dengan alasan mengkritik. Kita tak tau bagaimana perkataan kita akhirnya menguras tenaga dan hati siapa saja yang ditujukan. Kepada siapapun hendaknya kita bisa berkata dengan sebaik-baiknya, jika tak memungkinkan maka lebih baik untuk diam.
Kemudian saya bertanya-tanya dalam hati, “dari sekian banyak kosa kata baik yang kita simpan dalam kepala? Mengapa kita memilih sebuah ujaran kebencian?” juga memperolok-olok. Pilihan, ya, itu adalah pilihan, ternyata sebagian dari kita memilih untuk bersenang-senang dengan kata-kata negatif. Padahal saat ini yang dibutuhkan adalah kesadaran kita sebagai mahluk sosial.
Mengkritik pemerintah habis-habisan tak bisa menjadi solusi untuk berbagai kematian akibat kelaparan. Sebagai mahluk yang diberi kepala juga rezeki, mungkin seharusnya bisa lebih bijak untuk memulai apa yang seharusnya bisa dilakukan.
mulai dari menengok keluarga terdekat, tetangga, hingga kawan-kawan kita. Apakah mereka masih punya beras barangkali untuk menemani berbuka puas atau semenjak pandemik ini apakah mereka sudah berpuasa lebih dahulu.
Hal-hal krusial semacam ini akhirnya menghilang dari pandangan hanya beberapa saat setelah persoalan ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ yang dijadikan olok-olokan sebatas kritik tanpa berusaha mengarahkan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah. Kita akhirnya terdistraksi dan lupa tujuan. Tidak begitu?
Untuk itu mari Ramadhan ini kita jadikan ajang untuk mawas diri dan lebih focus pada hal-hal yang seharusnya menjadi perhatian. Kata-kata kasar, olok-olokan, juga ujaran kebencian itu, cukup di kamu. Jangan diteruskan. Mari share lebih banyak kebaikan dan cinta. Selamat Menjalakan ibadah puasa Ramadhan. Salam damai dan cinta, semoga semua segera membaik.