Pada saat sekarang di tengah carut-marutnya hubungan berbangsa dan bernegara, kata perbedaan terdengar tabu. Jarang kita saksikan tegur sapa dan ramah-tamah yang harmonis di tempat-tempat umum-pubic space maupun di media. Berbicara sesuatu yang berbeda dengan orang lain begitu cepat memicu kebencian.
Hal ini mengakibatkan pemandangan di pubic space menjadi rusak dan tidak menyehatkan lagi. Setiap orang terlihat datang ke area-area pubik space dengan eksklusivitasnya masing-masing. Peran public space menjadi terdegradasi dari centra silaturrahim, kebangsaan menjadi gelanggang pertarungan eksklusivitas dan medan perang egosentris.
Tidak heran apabila sikap saling curiga tumbuh subur bahkan menjamuri ruang-ruang interaksi sosial antar anak bangsa. Sikap saling curiga menjadi realitas sosial yang memperjalankan pola kehidupan berbangsa dan bernegara di negara kita dewasa ini.
Indonesia dengan 1.700-an pulau, 700-an suku, dan 2.500 bahasa terancam tidak lagi mampu eksis sebagai sebuah negara di atas perbedaan yang menopang keberlangsungannya. Orang-orang tidak lagi mampu berbeda satu sama lain. Sulitnya mengurai perbedaan dan mencari jalan untuk saling bergandeng tangan mewujudkan cita-cita kemerdekaan bersama, membuat miris penulis.
Maraknya sumpah serapah, caci maki dan sikap saling menjatuhkan terutama di media sosial, membuat realitas kebangsaan berupa perbedaan tampak tidak lagi punya tempat di dalam cawan kehidupan bangsa ini. Perbedaan seakan menjadi kotoran hina yang membuat siapa pun yang menyentuhnya menjadi panik dan tidak lagi mampu berprilaku positif.
Orang lebih memilih mengedepankan keinginannya terhadap orang lain, tanpa berpikir apa kiranya yang diinginkan orang tersebut. Hal ini membuat orang-orang berpikir terlampau skeptis bahkan memandang orang lain sebagai lawan, tidak lagi sebagai kawan sebangsa dan setanah air. Akhirnya orang-orang tidak lagi mampu hidup berdampingan di tengah-tengah realitas kehidupan yang dipenuhi perbedaan ini.
Fenomena ketabuan perbedaan di atas semacam potensi laten yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menimbulkan konflik sosial yang bahkan bisa berujung permusuhan dan pertikaian. Pertikaian antar suku, ras agama dan antargolongan pun semakin sulit untuk dihindari.
Akibat dari tidak adanya kesadaran bahwa kita adalah satu bangsa satu tanah air, menyebabkan kegagalan dalam memanajemen perbedaan. Ketidaksadaran bahwa manusia tidak ada yang sama persis di atas dunia. Kesadaran bahwa sidik jari yang berbeda pada setiap orang di atas muka bumi ini merupakan realitas genetika yang berkonsekuensi menimbulkan perbedaan fisik, perbedaan karakter, dan bahkan budaya.
Demikian halnya realitas kebangsaan di negara tercinta Indonesia yang terbangun melalui simpul-simpul perbedaan sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya. Bahkan, dalam satu kelompok pun terjadi perbedaan golongan lagi, seperti dalam satu suku dapat berbeda agama, dalam satu agama dapat berbeda pemahaman atau disebut madzhab misalnya, dan seterusnya.
Segala rupa perbedaan seyoyanya dipandang sebagai suatu realitas alamiah sebagaimana kita hidup di atas muka bumi ini dengan berkewarganegaraan bernama Indonesia juga adalah sebuah realitas alamiah. Dengan demikian, satu langkah kita telah berpikir lebih maju yaitu kita tidak bisa menonjolkan kedirian kita atau sebaliknya menghalangi orang lain untuk menampilkan identitas dirinya.
Yang kita lakukan justru mencari jalan untuk bisa bersama walaupun tidak mesti sama. Artinya, kita dapat memerankan kapasitas masing-masing dengan menggunakan perbedaan yang ada pada masing-kita itu sebagai alat untuk saling menutupi kekurangan dan saling melengkapi satu sama lain. Dengan demikian kita akan senantiasa menemukan cara untuk mencapai cita-cita kemerdekaan sebagaimana diharapkan oleh para founding father kita.
Pepatah yang mengatakan ‘tak kenal maka tak sayang’ sesungguhnya belumlah ketinggalan zaman, justru masih reliabel urgensinya hingga saat ini. Dengan saling mengenal, bukan hanya sebatas nama, namun juga latar belakang sosial dan pendidikan, karakter dan budaya, latar belakang suku, ras, agama, dan ekonomi, bahkan keluarga, dapat membantu kita untuk saling memahami satu sama lain. Saling memahami dapat melahirkan sikap membatasi diri dari ekspresi berebihan terhadap orang lain dan mampu menghargai hal-hal yang mungkin berbeda.
Hal di atas telah dicontohkan oleh para founding father Indonesia. Para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah orang-orang dengan seperangkat ciri yang sama. Mereka justru memiliki perbedaan yang kompleks baik pemikiran, latar belakang sosial budaya, suku, ras, agama, bahkan berbeda garis keturunan. Namun di bawah panji yang disebut cita-cita bersama, mereka mampu saling menerima perbedaan dan saling memahami untuk kemudian saling menopang, hingga bermetamorfosis menjadi satu gelombang kekuatan yang mampu mengusir penjajah.
Oleh karena itu, saling mengenal dan memahami adalah salah satu kunci dari persatuan antar anak bangsa. Penulis mengajak pembaca untuk kembali menginternalisasi peribahasa di atas sebagai modal strategis dalam menjalani interaksi satu sama lain. Peribahasa tak kenal maka tak sayang kuncinya.
Penulis: Muhammad Ahlun Nazori
Ilustrasi: Rosdiana Susanti