Peran perempuan sebagai pencipta perdamaian tak bisa diabaikan. Tidak hanya di masa konflik, tapi juga di seluruh spektrum perdamaian dunia. Jika perempuan berpartisipasi dalam proses perdamaian, maka berpotensi meningkatkan 35 persen kemungkinan keberlangsungan perdamaian hingga 15 tahun. Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri, Retno Marsuadi pada seminar virtual bertajuk “The role of Women Negotiators and Mediators In The Maintenance of Regional Peace and Security” pada tanggal 1-2 Juli 2020.
Selama ini, satu hal yang mungkin penting untuk terus dibicarakan dalam setiap proses pencapaian perdamaian adalah keberadaan dan peran perempuan dalam pemeliharaan perdamaian. Menghapus narasi superior bahwa perdamaian dan segala upaya untuk mewujudkannya dianggap bagian dari pekerjaan laki-laki. Sehingga, peran perempuan yang dianggap kurang signifikan menjadi makin berperan.
Studi tentang perempuan dan perdamaian sebenarnya sudah cukup berkembang. Mark Tessler, Jodi Nachtwey, dan Audra Grand (1999) mengumpulkan sejumlah hipotesis mengenai hubungan perempuan dan perdamaian. Ada tiga argumen pokok kenapa perempuan berpotensi menjadi juru damai.
Pertama, perempuan secara intrinsik memiliki moral keibuan. Moral ini datang dari pengalamannya melahirkan anak. Pengalaman itu sangat khas sehingga perempuan diatribusi sebagai sosok penjaga kehidupan. Moral keibuan sebagai “penjaga” inilah yang mendorong mereka mengupayakan agar kekerasan berhenti dan membangun jembatan antar mereka.
Kedua, berpotensi menjadi duta perdamaian, sebab dia adalah orang paling terdampak dalam konflik atau peperangan. Konflik atau perang, tidak saja menyengsarakan mereka karena kehilangan orang yang mereka cintai, tetapi juga harga kebutuhan pokok pasti melambung tinggi.
Mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi keluarganya. Tidak heran apabila pihak yang pertama kali membangun hubungan di tengah konflik komunal di Ambon tahun 2000-an adalah ibu-ibu. Ibu-ibu Muslim dan Kristen sudah menjalin kerja sama, bertukar makanan dan kebutuhan pokok keluarga, sebelum perjanjian Malino ditandatangani. Saya sangat senang dan beruntung pernah memiliki kesempatan bertemu dan mendengar pengalamannya secara langsung dengan salah satu dari mereka pada kegiatan yang diselenggarakan oleh The Habibi Center di Mataram, NTB.
Ketiga, konsep feminisme seperti kesetaraan gender berorientasi pada perdamaian. Konsep kesetaraan itu pada prinsipnya hendak melawan ketidakadilan dalam wujud hirarki, dominasi, dan eksploitasi. Prinsip-prinsip dasar ini pada gilirannya juga anti-militeristik, anti-kekerasan, dan anti-penindasan akibat tak setara. Mereka yang telah menyadari pentingnya kesetaraan akan mudah menjadi juru damai. Kita saksikan banyak sekali contoh, di mana aktivis feminisme yang juga sekaligus menjadi aktor perdamaian. Di internal Duta Damai NTB sendiri, contoh aktornya banyak.
Dengan demikian, cukup jelas bahwa perempuan berpotensi sangat besar menjadi juru damai. Pertanyannya, sediakah kita memberikan mereka tempat untuk terlibat dalam usaha bina damai?
Perserikatan Bangsa Bangsa dalam resolusi tahun 2000 tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan, mengamanatkan untuk melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan di semua level terkait perdamaian dan keamanan internasional; memberi perlindungan khusus kepada perempuan saat konflik; menggunakan perspektif gender di semua proses pasca konflik, pemantauan, dan semua jenis training bina damai. Ini artinya, negara-negara anggota PBB wajib melibatkan perempuan dalam proses perdamaian dan memberi mereka kemampuan yang memadai sebagai juru damai.
Berdasarkan sejumlah fakta di atas, perempuan berperan vital dalam pembangunan perdamaian. Dengan kualitas yang dimiliki, sudah sepatutnya perempuan mendapat akses yang lebih besar untuk terlibat langsung dalam proses perdamaian sebagai inisiator, katalisator, fasilitator, organisator, dan negosiator/mediator perdamaian. Hal yang harus selalu kita dukung adalah pengarusutamaan perempuan dalam segala upaya pembangunan perdamaian.