Sebelum berbicara perihal kontroversi penolakan vaksin, mari sejenak merefleksi apa yang sebenarnya sedang kita hadapi saat ini. Setelah hampir satu tahun lebih lamanya, sejak kasus pertama corona memasuki Indonesia awal maret lalu, pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menekan perkembangan kasus. Kendati hal tersebut belum terlihat titik terangnya. Terhitung ada berbagai kebijakan yang diturunkan sebagai upaya membatasi penyebaran, mulai dari pembatasan bersekala daerah hingga lockdown besar-besaran.
Saat ini, memasuki era yang disebut sebagai ‘New Normal’ atau di NTB lebih dikenal dengan ‘Nurut Tatanan Baru’, masyarakat diminta untuk selalu memenuhi protokol Kesehatan. Sebab, berdasarkan statemen pakar kedaruratan kesehatan WHO, Mike Ryan, dalam pertemuan daring dan dikutip dari SCMP, mengatakan bahwa corona merupakan virus endemic yang mungkin tidak akan pernah hilang. Sehingga, mau tidak mau kita akan terus hidup berdampingan dengan virus ini.
Bagaimana kondisi terkini Indonesia terkait Virus corona (Covid-19) ?
Berdasarkan data, kasus covid-19 di Indonesia sudah tak terkendali, dibuktikan dengan terus meningkatnya positivity rate yang kini berada di angka lebih dari 30 persen. Dilansir dari laman Covid19.go.id, Data terakhir hari ini (24/1) sebanyak 989.262 kasus positif corona. Pada tanggal 14 Januari lalu, Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi dengan peningkatan kasus tertinggi sebanyak 3.165 kasus, disusul Jawa Barat sebanyak 2.201 kasus kemudian diikuti Jawa Tengah sebanyak 1.497 kasus baru. Lengkapnya bisa dicek dihalaman resmi satgas covid ya !
Pendeklarasian virus Covid-19 sebagai pandemik global menurut pakar kesehatan yang dilansir pada laman Kompas.com (12/03/20), dinilai dapat memberi konsekuensi politik dan ekonomi. Pengumuman tersebut setidak-tidaknya dapat mengguncang pasar dunia yang sudah rapuh sejak SARS-Cov-2 menyebar, serta mengarah pada pembatasan perjalanan maupun perdagangan secara ketat.
Lalu, apa saja Imbas dari virus Covid 19 ?
Secara singkat, selain berimbas pada kesehatan, covid juga berdampak di berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan dunia mengalami berbagai perubahan. Perubahan ini tak tanggung-tanggung, hingga dapat dikatakan sebagai perubahan budaya yang signifikan. Penetapan virus Covid-19 sebagai Pandemi Global oleh WHO di susul pemerintah Indonesia yang kemudian menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional sesuai Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang poenanggulangan bencana dengan mengatakan virus corona sudah termasuk dalam bencana nonalam yang menyerang hampir seluruh penduduk dunia.
Namun hal ini dinilai tetap harus dilakukan dengan harapan negara-negara di dunia dapat dengan tanggap mencegah penyebaran. Yang mana, jika dibiarkan akan terjadi kesulitan karena kurangnya kapasitas dalam penannggulangan, hingga tidak ada sumber daya,seperti yang tampak saat ini di Indonesia. Selama pandemi terjadi, catatan LaporCOVID-19 menghitung, total ada 507 nakes dari 29 provinsi di Indonesia gugur akibat Covid-19. Sekitar 96 orang di antaranya meninggal dunia pada Desember 2020. Ini merupakan angka kematian nakes tertinggi dalam sebulan selama pandemi berlangsung di Tanah Air. Hal ini akhirnya berimbas pada penolakan beberapa rumah sakit terhadap pasien covid-19 di beberapa rumah sakit di Indonesia dengan alas an, nakes yang terbatas.
Selain sektor ekonomi dan kesehatan, sektor pendidikan juga mengalami dampak yang signifikan semenjak adanya pembatasan dan pelarangan kegiatan yang menyebabkan kerumunan termasuk didalamnya kegiatan belajar-mengajar, baik dari tingkat dasar hingga universitas. Ketidak merataan akses pendidikan yang layak nampak sangat jelas dengan munculnya berbagai keluhan terkait sistem pembelajaran yang berbasis ‘from home’ atau melalui udara. Sebut saja anak-anak yang berasal dari pelosok, dengan sinyal dan akses internet yang tidak memadai, hingga kurikulum pembelajaran sementara yang oleh sebagian penilik pendidikan dianggap tidak efektif.
Selain itu kasus covid-19 juga memberi dampak besar pada kesehatan psikologis masyarakat Indonesia. Ketidakstabilan ekonomi dan perubahan pola sosial menjadi penyebab utama. Selain itu kekerasan di lingkup rumah tangga dan terhadap anak meningkat secara signifikan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), menyoroti banyaknya kasus kekerasan terhadap anak selama masa pandemi COVID-19. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada laman kemenpppa.go.id, terdapat sekitar tiga ribu kasus kekerasan terhadap anak terhitung sejak 1 Januari hingga 19 Juni 2020. Beratnya beban domestik yang harus ditanggung orang tua disebutkan menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap anak. Sejauh ini, dampak-dapak tersebut cukup menjadi PR besar yang kita hadapi bersama.
Mengenalkan Vaksin Sinovac Sebagai Solusi dari Pemerintah
Sebut saja, sebagai bagian dari solusi penanganan Covid-19 yang sudah tidak terkendali dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya, pemerintah menawarkan sebuah jalan keluar yang tentunya kita ketahui bersama masih dalam proses percobaan. Apakah itu ? Jawabannya tentu saja sesuai dengan topik pada artikel ini yakni ‘Vaksin’.
Vaksin (n) dalam KBBI, diartikan sebagai bibit penyakit (msl cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi. Vaksinasi sendiri merupakan proses pemberian vaksin melalui disuntikkan maupun diteteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.
Berdasarkan laman resmi covid19.go.id, Untuk bisa menetapkan penggunaan vaksin, harus mendapat Persetujuan Penggunaan Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Untuk vaksin COVID-19 sendiri terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Kriterianya termasuk aspek kedaruratan, keamanan, dan khasiat, mutu, kemanfaatan yang lebih besar dari risiko, serta ketidaktersediaannya alternatif. Vaksin dikembangkan dengan mengedepankan prinsip keamanan dan keampuhan yang tidak dikompromikan saat dikeluarkannya EUA.
Jenis vaksin yang akan digunakan di Indonesia dikenal dengan nama Vaksin Sinovac. Vaksin ini diproduksi oleh perusahaan bioteknologi asal China, yang bermarkas di Beijing, Sinovac Biotech Ltd. Perusahaa ini berfokus pada riset, pengembangan, pembuatan hingga komersialisasi vaksin-vaksin untuk mencegah terjadinya penularan penyakit pada manusia. Vaksin COVID-19 buatan Sinovac Biotech dibuat dengan platform atau metode virus yang telah dilemahkan (inactivated virus). Ini diketahui termasuk cara yang paling umum dalam membuat vaksin, yaitu saat virus ‘dimatikan’ lalu partikelnya dipakai untuk membangkitkan imun tubuh. Lewat cara tersebut maka tubuh bisa belajar mengenali virus penyebab COVID-19, SARS-COV-2, tanpa harus menghadapi risiko infeksi serius. Vaksin ini diberikan dalam dua dosis atau perlu dua kali suntikan. (health.detik.com,akses 15/01). Kabarnya pada bulan desember lalu, Kepala BPOM Penny Lukito menyebutkan Vaksin sinovac ini belum selesai uji klinis, setidaknya memerlukan waktu enam bulan untuk menguji suatu vaksin. Namun, vaksin tetap dapat digunakan jika memang sudah memasuki kondisi darurat sehingga dapat dikeluarkan izin yang disebut Emergency Use Authorization (EUA) tadi.
Mengapa Vaksin Sinovac menjadi Kontroversi ?
Sejak wacana vaksinasi diluncurkan ke publik, berbagai reaksi masyarakatpun muncul. Berdasarkan penulusuran penulis di berbagai sumber berita, dikatakan bahwa pemicu dari penolakan sebagian masyarakat terkait vaksin adalah terkait dengan berbagai berita yang simpang siur hingga diebut hoax. Sebut saja misalnya terkait kandungan Vaksin Sinovac yang digadang-gadang mengandung seuatu yang haram. Selain itu belum selesainya uji klinis yang dirasa belum teruji keamanannya juga turut menjadi penyebab penolakan masyarakat.
Bagaimana Pandangan Ahli Kesehatan terkait Vaksin Sinovac?
Hingga januari 2020, setidaknya ada beberapa negara berwacana membatalkan pembelian vaksin sinovac hingga penghentian uji klinis, negara-negara tersebut diantaranya, Brasil dan Malaysia. Dikutip dari laman cnbcindonesia.com,(14/01) mempertimbangkan kemungkinan membatalkan pembelian vaksin China Sinovac, Coronavac. Ini disampaikan oleh Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi Khairy Jamaluddin dalam konferensi pers, dikutip dari The Star. Ia juga menambahkan jika tidak puas dengan keamanan dan kemanjuran, Malaysia idak akan melakukan pengadaan Vaksin Sinovac. Hal ini adalah bentuk tanggapan Jamaluddin terhadap data klinis Sinovac Brasil yang menemukan vaksin Sinovac Covid-19 hanya efektif 50,4%.
Dilansir dari laman Kompas.com, Badan Pengasawan Kesehatan Nasional Brazil (Anvisa) disebutkan menghentikan uji klinis kandidat vaksin Covid-19 CoronaVac karena alasan “kejadian buruk dan serius”. Dalam pernyataan di laman resminya, Anvisa mengatakan kejadian yang menjadi pemicu penangguhan uji coba tersebut terjadi pada 29 Oktober. Akan tetapi, pihaknya tidak menjelaskan peristiwa apa yang sebenarnya terjadi. “Dengan penghentian penelitian ini, tidak ada relawan baru yang dapat divaksinasi,” tulis Anvisa.
Sementara itu di India terjadi perdebatan sengit setelah adanya persetujuan penggunaan vaksin yang diberi nama covaxin yang diumumkan secara resmi oleh Perdana Mentri Narendra Modi. Menanggapi hal tersebut Pengawas kesehatan dalam organisasi, All India Drug Action Network, mengaku pihaknya “terkejut” (03/01). (dikutip dari laman,bbc.com).
Sementara itu, dilansir dari laman Kompas.com, di Indonesia Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito (11/01) mengatakan vaksin Sinovac telah diuji klinis tahap ketiga di Bandung dan telah menunjukkan hasil yang baik dari sisi imunogenisitas atau kemampuan dalam menetralkan atau membunuh virus. Efikasi dilihat dari pembentukan antibodi dalam tubuh setelah vaksin disuntikkan. Kemudian diamati apakah antibodi yang ada mampu menetralkan virus SARS-CoV-2 atau tidak. Berdasarkan penuturan Penny, pada 14 hari setelah penyuntikan, vaksin Sinovac menunjukkan kemampuan membentuk antibodi sebesar 99,74 persen. Kemudian, pada tiga bulan setelah penyuntikan, hasil antibodinya masih 99,23 persen.
Berkaitan dengan hal tersebut, Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman dalam wawancaranya dengan Sindonews.com, menilai hasil uji klinis di Bandung dianggap lebih cocok dijadikan patokan sehingga kepercayaan masyarakat Indonesia lebih tinggi terhadap efikasi vaksin tersebut. Meski begitu, menurutnya keseluruhan efikasi dari semua pusat studi di semua negara yang melakukan uji klinis seperti Brasil, Chile, Indonesia, Turki, dan China terhadap sinovac tetap perlu digabungkan sebagai rujukan untuk ‘emergency’.
Nah, Bagaimana teman-teman sekalian,? Tentunya memilih divaksin atau tidak divaksin memiliki konsekuensi sendiri. Semoga apa yang ada dalam uraian di atas ini dapat memberikan informasi yang cukup mencerahkan. Salam damai .