free page hit counter

Berfikir kritis saat ini telah menjadi buah bibir yang berkembang dalam wacana media, baik secara daring maupun non-daring. Dalam obrolan-obrolan warung kopi ataupun kolom komentar sosial media, kata ini menjadi pisau analisis terhadap sebuah fenomena yang sedang terjadi. Entah hal tersebut memang benar adanya ataupun sekedar sebagai bahan kren-krenan. Lantas sebenarnya bagaimana sih yang disebut dengan berfikir kritis?

            Secara umum,   berpikir kritis bisa kita definisikan sebagai proses intelektual yang aktif dan penuh  dengan  keterampilan  dalam  membuat  pengertian  atau  konsep, mengaplikasikan,  menganalisis,  membuat  sintesis,  dan  mengevaluasi suatu masalah berdasarkan  hasil  observasi,  pengalaman,  pemikiran, pertimbangan, dan  komunikasi, yang akan  membimbing dalam menentukan  sikap dan tindakan kita sebagai hasilnya.

Proses berfikir kritis tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja, butuh sikap ‘open minded’ atau keterbukaan pemikiran dalam melihat suatu masalah atau wacana. Keterbukaan pemikiran tadi digunakan untuk mengobservasi bukti dan mengukur kebenaran dari kesimpulan yang kita buat. Jika kemudian hasil berfikir tadi menunjukkan pendapat yang kadang kontradiktif dengan apa yang kita anggap benar dengan didukung bukti-bukti yang valid, sikap kritis kemudian akan membimbing kita  untuk mau mengubah kesimpulan sebelumnya.

            Dalam kenyataannya, tidak semua orang bisa memaksimalkan kemampuan berfikir. Sebab proses berfikir dipengaruhi banyak faktor,salah satunya kondisi emosional seseorang. Chabeli (2006) dalam jurnalnya berjudul Higher order thinking skills competencies required by outcomes-based education from learners. Curationis, 29(3):78-86.menyatakan bahwa terdapat hubungan era tantara kecerdasan emosional dan berfikir kritis, dimana kemampuan berfikir kritis menyediakan alat-alat mental yang dibutuhkan untuk memahami secara eksplisit bagaimana penalaran bekerja dan bagaimana alat tadi dapat dipergunakan untuk mengambil kendali tentang apa yang dipikirkan,rasakan,keinginan dan apa yang harus dikerjakan.

Skill berfikir kritis sangat perlu dilatih untuk mempermudah seseorang dalam membuat suatu keputusan atau mengambil kesimpulan dalam suatu masalah. Sebab sebuah isu tidak selalu dapat diputuskan sebagai benar dan salah.

            Salah satu hal yang dapat mendorong seseorang secara alamiah untuk berfikir kritis adalah memiliki rasa ingin tahu. Namun rasa ingin tahu ini kadang oleh lingkungan tidak didukung secara baik. Contohnya saja jika kita mempertanyakan suatu ‘keyakinan’ ataupun ‘nilai’ yang berkembang dalam masyarakat, kadang jawaban atas keingin tahuan tersebut berakhir dengan anggapan negatif. Entah itu dicap sebagai ‘ketidak sopanan’ hingga dianggap durhaka. Padahal, pertanyaan yang muncul atas keingintahuan bisa saja menjadikan seseorang semakin yakin dengan pilihannya jika diberikan jawaban serta bukti yang valid, atau pertimbangan-pertimbangan yang memungkinkan dapat diterima oleh logika.

            Pada prinsipnya, berbagai tahapan proses berpikir kritis antara lain memahami masalah, menganalisis masalah, mengidentifikasi informasi yang berkaitan dengan masalah, merencanakan solusi, menarik kesimpulan. Jika sudah mencapai tahap penarikan kesimpulan ini, dalam istilah pendidikan sudah masuk dalam kompetensi berfikir C5 dan C6. Hmm terdengar sangat ilmiah ya ? Ya memang benar adanya, proses ini secara alamiah sebenarnya terjadi dalam diri tiap individu. Yah,buat kamu yang pernah menonton film inside out tentu saja bisa membayangkan bagaimana  otak bekerja.

            Dalam berbagai penelitian pendidikan, sudah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana kompetensi berfikir siswa. Namun pada kenyatan yang agak ‘menggelitik’, banyak dari pelaku intoleran dan juga yang makin sering terdengar bahwa anak-anak mudalah yang menjadi sasaran utama dalam melancarkan aksi terorisme dan radikalisme. Agak ironi memang, sebab secara tidak langsung dalam kurikulum sudah termaktub proses-proses berfikir kritis tadi. Namun ternyata outputnya kebanyakan hanya berorientasi pada nilai berupa angka-angka, bukan pada luaran prilaku serta kemampuan anak-anak dalam mengalisa lingkungan sekitarnya

            Menurut hasil laporan dari organisasi internasional tentang masalah pendidikan, Indeks pendidikan Indonesia belum memenuhi ekspektasi, soal 110 dari 180 negara di dunia. Selain itu, berdasarkan data dari Education for All (EFA) “Laporan Pemantauan Global 2011” yang dikeluarkan oleh UNESCO, indeks Perkembangan pendidikan Indonesia menempati urutan ke 69 dari 127 (Prasetyani, Dkk. 2016). Hasil survei tren persaingan internasional menunjukkan bahwa situasi ini semakin parah. Pemeringkatan siswa sejak diikutsertakan dalam Survei Ilmiah (TIMSS) pada tahun 1999,salah satu alasan Prestasi siswa yang rendah disebabkan oleh proses pembelajaran yang lemah dan kurangnya dorongan untuk siswa mengembangkan keterampilan berpikir.

 Sehingga sesuai dengan judul tulisan ini, bahwa perlu adanya upaya untuk mengembangakan proses berfikir kritis ini dengan menciptakan lingkungan yang dapat mendukungnya. Contohnya, ketika anak-anak bertanya tentang suatu hal, orang tua bisa membantu anak untuk mencari jawaban yang tepat dengan menemukan informasi-informasi yang berkaitan dengan   pertanyaan si anak. Kemudian, orangtua bisa membimbing memilah dan memilih informasi yang tepat dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan tadi dengan valid atau berterima. Kesan rumit dalam menerapkan proses ilmiah sebagai framework atau dasar dalam berfikir sehari-hari juga menjadi kendala yang kadang orangtua dan lingkungan sekitar akhirnya memilih jalan untuk tidak menjawab, atau bahkan memarahi serta memberi punishment dan judgement kepada anak bahkan sedari dini. 

            Akhirnya, hal ini kemudian secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola pikir ketika menghadapi suatu masalah atau wacana. Kita akhirnya tidak terbiasa untuk mempertanyakan serta mencari tau kebenaran dari suatu wacana yang kita terima.  Inilah yang menjadi asal muasal bagaimana kita gampang terkena hoax dan menjadi korban dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Nah, sekarang mulailah untuk selalu menerapkan proses berfikir kritis dengan:

  1. Mempertanyakan suatu hal atau wacana yang kita terima
  2. Mencari informasi pendukung
  3. Melengkapi data-data
  4. Menganailisis informasi secara menyeluruh
  5. Barulah menarik kesimpulan.

Meski kelihatannya rumit, namun hal ini sangat penting dikembangkan agar kita tidak mengambil kesimpulan yang akan disesali dan merugikan diri sendiri dan juga orang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *