free page hit counter

Stigma “cebong” dan “kampret” rasanya masih begitu akrab di telinga kendati pemilihan presiden sudah genap setahun lalu usai. Jika pada masa pilpres dan menjelang pilpres “cebong” di stigmakan sebagai pendukung Joko Widodo, dan “kampret” di stigmakan sebagai pendukung Prabowo Subianto, kini rasanya “cebong” dan “kampret” adalah soal Jokowi dan yang “bukan Jokowi”, walaupun nyatanya tidak semua pendukung Jokowi pada pilpres lalu setuju dengan seluruh kebijakan pemerintah, begitupun sebaliknya, tidak semua yang tidak memilih Jokowi menolak seluruhnya kebijakan pemerintah. Polarisasi ini seolah sedemikian rupa membagi masyarakat “dengan rapih” menjadi dua golongan hingga kini.

Ilustrasi oleh Cholenesia

Polarisasi dalam demokrasi tentunya merupakan konsekuensi, seiring dengan dibukanya keran kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi. Polarisasi juga tentunya tidak serta merta buruk, jika polarisasi justru membuka pemikiran masyarakat untuk lebih kritis dalam mengawasi kebijakan pemerintah dan lebih kritis dalam memilih pejabat publik, namun, masih kerap kali terjadi, polarisasi politik justru menjerumuskan masyarakat dalam pendiskreditan terhadap kelompok lain dan saling hujat menghujat, meskipun umumnya masih kita lihat hanya terjadi di media sosial.

Walaupun demikian, perang urat syaraf di media sosial terkait pilihan politik beresiko terbawa ke kehidupan masyarakat di dunia nyata, hal ini dibuktikan oleh beberapa kejadian. Dilaporkan oleh BBC, seorang penumpang wanita diturunkan di jalan oleh pengemudi taksi online karena berbeda pilihan capres. Dalam artikel yang sama dilaporkan bahwa perbedaan pilihan capres di Madura mengakibatkan saling umpat mengumpat antar warga. Selain itu, berdasarkan hasil survei Polmark tercatat, sebanyak 5,7% responden merasa bahwa Pilkada DKI Jakarta 2018 telah merusak hubungan pertemanan. Perolehan angka ini naik dari survei serupa pada Pilpres 2014. Saat itu, sebanyak 4,3% pemilih menganggap pilpres memicu keretakan hubungan pertemanan di masyarakat.

Tidak hanya di Indonesia, fenomena sejenis juga terjadi di belahan dunia lain, bahkan di negara maju sekaliber Amerika Serikat. Dilansir dari Tirto, di Amerika Serikat, terdapat banyak pertemanan yang berakhir di media sosial dan bahkan dunia nyata, karena pilihan politik. Pendukung Hillary Clinton dan Donald Trump saling mengejek, memaki, merisak, menyindir, dan mengutuk kemudian akhirnya memutuskan pertemanan. Fenomena ini menunjukkan bahwa polarisasi memiliki resiko berupa kerenggangan sosial di dalam masyarakat yang hal ini dapat memberi ancaman terhadap masa depan kondusifitas sosial bahkan perdamaian, jika semakin menajam.

Melihat kembali ke negara kita, polarisasi hingga kini masih nampak jelas, dan kembali menajam di tengah pandemi Covid-19 yang telah menjangkiti hampir seluruh negara di dunia dan merontokkan perekonomian global. Perbedaan perspektif terkait kebijakan pemerintah dalam penanganan isu Covid-19 ini menjadi pemicu polarisasi yang efektif dan beresiko dalam menimbulkan gesekan sosial, mengingat isu ini berkaitan erat dengan isu ekonomi yang menyangkut kehidupan seluruh masyarakat. Resesi ekonomi yang menuju depresi menjadi momok bagi kondusifitas sosial di masa pandemi dan pasca pandemi. Hal ini kembali diperburuk dengan politisi dari kedua kubu, “cebong” maupun “kampret” yang kurang bijak dalam mengeluarkan pernyataan yang beresiko mempertajam polarisasi di masyarakat, seperti yang belum lama ini terjadi.

Baru-baru ini politisi PDIP Ruhut Sitompul misalnya, menanggapi pihak yang mendorong kebijakan Lockdown (yang kebanyakan didorong kaum pendukung Prabowo Subianto dalam pilpres 2019 lalu) dalam sebuah kicauannya yang berbunyi “Jadi yang selama ini ngotot Lockdown ketahuan niat busuknya Barisan Sakit Hati. Wajah letih kadrun-kadrun gagal total. Indonesia Aman. MERDEKA”. Sementara itu di lain sisi, Iwan Sumule politisi Partai Gerindra, Partai yang berseberangan dengan Joko Widodo pada pilpres 2019 berkicau: “Pusat sudah kehilangan wibawa, tak ada lagi kepemimpinan. RAKYAT BUTUH PEMIMPIN BARU”.[i] Narasi-narasi yang disediakan elit pun tidak dapat dijadikan teladan oleh publik sehingga mempertajam sisi negatif dari polarisasi ini sendiri.

            Pandemi telah memberi sekian tragedi kepada masyakat Indonesia, mulai dari tragedi meninggalnya para tenaga medis dan meninggalnya para pasien yang terjangkit, hingga persoalan seperti PHK, pegawai yang dirumahkan tanpa kepastian, hingga masyarakat-masyarakat pekerja harian yang kehilangan mata pencaharian dan kehilangan pemasukan. Permasalahan ini tentu merupakan permasalahan kita bersama, setiap golongan masyarakat saling membutuhkan satu sama lain. Kita seolah hidup dalam ekosistem sosial yang menuntut solidaritas antar komponen masyarakat untuk membentuk suatu ekosistem yang sehat. Permasalahan ekonomi dan kelaparan selalu mudah untuk mendorong kepada tindakan-tindakan kriminal dan kerusuhan. Masa krisis 1998 dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia bagaimana krisis dapat mendorong kepada semakin terpecahnya masyarakat. Situasi kali ini sekalipun tidak sama memliki resiko yang sama besarnya, terlebih saat ini Indonesia dilanda polarisasi yang beresiko, ditambah lagi dengan isu rasial yang kembali menyerebak dikarenakan isu TKA dan stigma kecondongan pemerintah terhadap Tiongkok yang menjadi senjata ampuh bagi destruksi kondusifitas sosial.

            Terlepas dari kebenaran dari keberpihakan terhadap isu tersebut, tentunya kita sama-sama sepakat bahwa isu tersebut berpotensi mengakibatkan efek negatif terhadap kondusifitas sosial yang harus kita cegah bersama. Masing-masing pihak harus mulai lebih bijak dalam menanggapi isu terkait polarisasi, bukan malah mempertajamnya dengan pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan antar satu kelompok dengan kelompok yang lain, terutama dengan julukan-julukan seperti “cebong dan kampret”. Tentunya akan lebih baik jika memindahkan diskursus dengan narasi memecah belah dengan diskursus-diskursus konstruktif terkait pencegahan dan informasi-infromasi yang bermanfaat tentang virus ini.

Kritik tentu dalam demokrasi merupakan keniscayaan, dan legal, asalkan jangan dibalut dengan narasi yang memecah belah. Setiap orang harus mulai berperan dalam menjaga solidaritas masyarakat, mulai dari hal-hal kecil seperti menyebarkan berita-berita yang positif, memverifikasi berita-berita di media sosial bahkan melakukan klarifikasi terhadap berita-berita hoaks yang mewabah di tengan wabah dapat menjadi langkah konkrit dalam menjaga solidaritas sosial. melibatkan diri dan berkontribusi terhadap gerakan-gerakan filantropi dalam membantu tenaga medis dan pihak-pihak yang terdampak secara ekonomi tentunya juga dapat menjadi upaya konkrit dan menjadi wujud bahwa masyarakat masih bersatu, bahu-bahu dan bergotong-royong dalam menghadapi masalah bersama. Setiap orang dapat memilih perannya masing-masing dalam situasi dan kondisi rentan ini, namun bijaklah dalam memilih peran.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *