free page hit counter

Tulisan ini sedikit terlambat. Melampaui 21 April, tanggal yang identik dengan peringatan Hari Kartini. Meski begitu, tak ada salahnya mengulas sisi lain Raden Ajeng Kartini, perempuan Jawa yang dikenal sebagai pendobrak emansipasi perempuan. 

Sebagian besar masyarakat Indonesia, dalam pendidikan sejarah hanya mengenal karyanya yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang. Dan setiap tahun, berulang-ulang narasi tentang RA Kartini seputar kesetaraan gender. Padahal, sejumlah literatur menyebut, Kartini lahir dari keluarga agamis. Dekat dengan ulama-ulama masa itu.

Pada sebuah video yang dibuat oleh NU Online, ulama asal Jawa Tengah, KH Ahmad Chalwani mengisahkan sisi agamis RA Kartini. Pengasuh Ponpes An Nawawi Berjan, Purworejo ini berkisah, saat usia Kartini 13 tahun mengusulkan kepada gurunya, Kiai Sholeh Darat membuat tafsir Alquran. Kiai Chalwani menggambarkan dialog antara Kartini dengan gurunya itu.

“Kiai, setiap saya mendengar tafsir Alquran memakai bahasa Jawa hati saya jadi tentram. Terjemahkan seluruhnya ke bahasa Jawa. Supaya menjadi pegangan putri-putri Jawa,” cerita Kiai Chalwani. 

Saat itu, nama Indonesia belum lahir. Jadi untuk merepsentasikan keinginannya, Kartini merujuk pada putri Jawa. Permintaan Kartini ini, tak langsung dijawab oleh Kiai Sholeh Darat. Disampaikan untuk menafsirkan Alquran tak mudah. Dan tak semua orang diperbolehkan manafsirkannya Alquran. Harus memiliki kemampuan ilmu bantu tafsir yang lengkap. Mulai gramatika Arab, Nafwu, Sharaf, Badi’, Ba’ani, Bayan, Muhasnatil Kalam, Nasikh Mansukh, Asbabul Wurudh, Asbabun Nuzul, dan lainnya. 

Jawaban Kiai Sholeh ini dijawab Kartini jika ia usul ke karena keyakinannya jika semua ilmu sudah dimiliki Kiai Sholeh. Jawaban yang membuat Kiai Sholeh menundukkan kepala. Menangis. 

“Kok ada anak cerdas begini,” ucap Kiai Chalwani menggambarkan ucapan Kiai Sholeh kepada Kartini.

Dari sinilah kemudian lahir Kitab Faidur Rohman. Kitab tafsir Arab Pegon (baca: Bahasa Jawa). Berisi 13 Juz. Di kitab ini tertulis, karya KH Sholeh Darat usul dari Kartini. Dan ini tercatat sebagai tafsir pertama dari Asia. Kitab Faidur Rohman diterbitkan di Singapura.

Cerita yang disampaikan oleh Kiai Chalwani ini jarang minim tertuang pada buku-buku sejarah. Padahal Kecintaan Kartini kepada kitab suci Alquran ditunjukkan tak sekadar membacanya. Ia bahkan ingin meresapi makna dari ayat-ayat Alquran. Hingga ulama besar melahirkan kitab.

*Siapa Kiai Sholeh Darat ?*

Bagi kalangan pesantren nama Kiai Sholeh Darat tentu tak asing. Dua ulama besar KH Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dan KH Ahmad Dahlan pendiri Perserikatan Muhammadiyah diantara yang pernah berguru kepada Kiai Sholeh.

Mengutip melalui wikipedia, secara singkat dituliskan KH Sholeh Darat, lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada 1235 Hijriyah (1820) dengan nama lengkap Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani. Ayahnya, Kiai Umar merupakan pejuang kemerdekaan dan kepercayaan Pangeran Diponegoro di pesisir utara Jawa Tengah.

Diantara guru-guru Kiai Sholeh afalah  Sayid Ahmad Bafaqih Ba’alawi Semarang, Syeikh Abdul Ghani Bima dan Kiai Ahmad Alim.
Sedangkan di Makkah Kiai Sholeh menimba keilmuan agamannya pada para ulama seperti Syeikh Muhammad al Muqri al Mishri al Makki, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasballah dan Al Allmah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (Mufti Madzab Syafi’iyah).

Selain itu juga Al Allamah Ahmad An Nahawi al Mishri al Makki dan Sayyid Muhammad Sholeh al Zawawi al Makki, Kiai Zahid, Syeikh Umar a-Syami, Syeikh Yusuf al Sunbulawi al –Mishri serta Syeikh Jamal yang juga seorang Mufti Madzab Hanafiyyah.

Misalnya Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam berupa kitab yang khusus membahas persoalan fiqih namun dengan penjelasan aspek hakikat dan ma’rifat yang harus dikejar setelah orang mengerti tentang syariat.

Berikutnya Mujiyat Metik Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali, yang berupa sebuah kitab petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz tiga yang berisi pelajaran etika dan tuntunan mengendalikan hawa nafsu. Terjemah Al-Hikam karya Ahmad bin Athoilah, berupa penjelasan panjang lebar mengenai thoriqoh dan tasawuf. 

Antara lain Lathaif al-Thaharah wa srorus Solah, Manasik al-Haj,  Pasolatan, Sabillu ‘Abid yang merupakan terjemahan jauhar al-Tauhid karya Ibrahim Laqqani, Minhaj al-Atqiya, Al Mursyid al-Wajiz, Hadits al-Miraj, Syarah Maulid al-Bardah dan Faidur Rohman tafsir Alquran berbahasa Jawa pertama di Nusantara yang terdiri atas 13 juz, mulai dari Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. 

Sejarah Kebangsaan dan Peran Ulama

Kisah lain mengenai Kartini yang memiliki sumbangsih pemikiran dalam terjemah Alquran ini harusnya didengungkan oleh semua elemen. Termasuk kaum hawa. Peran agama ikut mempengaruhi pemikiran tokoh. Memberi andil dalam perkembangan bangsa. Perjalanan bangsa ini tak dapat dilepaskan dari campur tangan tokoh-tokoh umat.

Beberapa hari lalu muncul kehebohan ketika kamus sejarah Indonesia tak mencantumkan KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH Abdurrahman Wahid di dalamnya. Padahal peran kakek dan cucu untuk negeri ini begitu besar. Kiai Hasyim melahirkan ulama-ulama nusantara. Kemudian muridnya menyebar dan mendirikan pondok pesantren. Berikutnya melahirkan Nahdlatul Ulama. Dan yang tak kalah penting resolusi jihad menjelang kemerdekaan lahir dari restu Kiai Hasyim. Sementara Kiai Abdurrahman yang lebih akrab dengan Gus Dur, dikenal sebagai bapak pluralisme di Indonesia. Presiden keempat Indonesia yang juga tokoh Nahdlatul Ulama. 

Catatan keislaman dan kebangsaan di negeri ini satu sama lain menguatkan. Peran agama tak boleh dinafikan. Cerita tentang RA Kartini ini hanya salah satu contoh, dimana suguhan literasi mengenai ibu emansipasi wanita ini kalah oleh hegemoni kesetaraan gender. Tentu menjadi tugas semua anak bangsa, khususnya generasi muda menghadirkan cerita utuh tentang sejarah kebangsaan, bukan sekadar untuk sekolah agama (baca : pesantren), namun juga sekolah umum. Kemajuan teknologi saat ini harus menjadi medium menceritakan sejarah Indonesia dengan jujur bila peran ulama sama penting dengan para tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan banyak lagi.(*)

Ilustrasi : Ulwan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *